Bentakan Aipda Dodi ; Runtuhnya Wibawa Keadilan di Propam Polres Batubara Saat Masyarakat Mencari Keadilan.

BatuBara-Jejak-Kriminal.Com-Pada malam 17 April 2025, pukul 20.00 WIB, sekelompok warga dari Medang Deras melangkah ke Kantor Propam Polres Batubara dengan satu harapan sederhana: keadilan.

Di antaranya, Ibu Murni, seorang perempuan dengan keberanian membawa dugaan pelanggaran oleh oknum Polsek Medang Deras ke meja hukum, ditemani dua warga lain dan wartawan dari Jejak Kriminal serta Incarkasus. Mereka tidak datang membawa kekacauan. Mereka membawa laporan. Mereka membawa harapan.

Namun, yang menyambut bukan pelukan hukum, bukan perlindungan institusi. Yang mereka temui justru bentakan Aipda Dodi seorang anggota Propam, petugas yang seharusnya menjadi garda terdepan menjaga integritas dan etika polisi.

“Kalian ada-ada saja malam-malam buat laporan ya… sudah sini!”

Kalimat ini mungkin hanya satu dari ribuan yang biasa dilontarkan dengan enteng oleh oknum aparat. Tapi malam itu, di hadapan warga dan wartawan, kalimat ini mengandung luka kolektif. Ia bukan sekadar ucapan, tapi manifestasi dari kekuasaan yang lupa arah. Dari fungsi yang kehilangan jiwa.

Aipda Dodi bukan hanya membentak. Ia membuyarkan keyakinan bahwa Propam adalah ruang netral, ruang pengaduan terakhir ketika institusi tak lagi aman bagi warganya.

Lebih buruk lagi, bentakan itu menyasar pula wartawan—pilar demokrasi yang justru datang untuk mendokumentasikan fakta dan memastikan transparansi.

Sumpah janji Polri yang diikrarkan dalam Tribrata dan Catur Prasetya berbunyi indah di atas kertas:

“Kami Polisi Indonesia adalah bhayangkara negara yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan…”

“Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum…”

Tapi di malam itu, sumpah itu terdengar seperti satire pahit. Sebab bagaimana bisa seorang pengawas internal institusi begitu mudah menunjukkan sikap yang mencederai nilai-nilai tersebut?

Rudi, wartawan yang hadir, menanggapi dengan tenang,

“Kalau memang tidak bisa membuat laporan malam hari ya… sudah, kami pulang pak?”

Kalimat sederhana, namun tajam dan menekan pada malam itu. Harga diri warga dan peran media juga ikut terpinggirkan.

Dan yang lebih menyesakkan: hingga detik ini, belum ada sikap resmi dari Kapolres Batubara, AKBP Doly Nelson H.H. Nainggolan.

Padahal video dan pesan sudah dikirim. Apa artinya diam dalam hirarki kepolisian? Netral? Tidak. Diam adalah tanda pembiaran. Dan pembiaran adalah bagian dari kejahatan struktural.

Kita tidak sedang menyoal emosi sesaat seorang petugas. Kita bicara tentang simbol: Propam. Tempat seharusnya kita merasa aman untuk melapor. Tapi jika di sana saja rakyat dibentak, lalu kepada siapa lagi mereka bisa berharap?

Jika wartawan yang membawa kamera saja bisa dihardik tanpa alasan, bagaimana dengan rakyat kecil yang datang sendiri, tanpa saksi, tanpa pelindung?

Kepolisian tidak bisa terus berdalih “oknum”. Sebab terlalu sering oknum itu muncul, dan terlalu jarang institusi bersikap.

Jika Kapolres Batubara tidak bertindak, maka bukan hanya Aipda Dodi yang harus dikritisi, tapi juga sistem yang membiarkan arogansi tumbuh subur.

Jika hukum tak bisa ditegakkan dari dalam, maka ketidakadilan akan menyebar dari luar.
Dan saat itu tiba, rakyat akan berhenti percaya.

Keadilan tidak mengenal waktu. Tidak mengenal hari kerja. Tidak mengenal arogansi.
Dan Propam bukan tempat menegur warga tapi menegur aparat. (rd.red.pel.)