TAPANULI UTARA – SUMUT-JEJAK-KRIMINAL.COM-Dunia pelayanan publik kembali tercoreng. Kali ini, sorotan tajam tertuju ke Satpas Polres Tapanuli Utara (Taput), di mana praktik dugaan pungutan liar (pungli) dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) C diduga menjadi “mainan” oknum aparat.
Informasi yang dihimpun awak media pada 25 Juli 2025, menyebutkan bahwa salah seorang warga Taput berinisial CS mengaku harus merogoh kocek hingga Rp750 ribu untuk memperoleh SIM C. Parahnya, biaya itu tidak disertai dengan mekanisme uji praktik resmi, seperti yang seharusnya menjadi bagian dari prosedur penerbitan SIM.
“Memang sih proses penerbitan SIM-nya cepat, tanpa praktek, Pak. Tapi tetap saja biayanya terlalu besar. Ya mau nggak mau harus kita ikuti berapa biaya yang mereka minta. Kita butuh SIM juga, Pak,” ujar CS kepada wartawan, dengan nada kecewa.
Biaya yang disebut CS jelas melampaui ketentuan resmi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2020, biaya resmi penerbitan SIM C hanya sebesar Rp100 ribu, belum termasuk tes kesehatan dan psikologi yang biasanya tak lebih dari Rp50 ribu. Jika ditotal, seluruh biaya tidak seharusnya melampaui Rp200 ribu.
Oknum petugas yang disebut berinisial MS kini menjadi sorotan publik. Jika benar informasi ini, maka MS bukan hanya melanggar etik kepolisian, tetapi juga melanggar hukum pidana. Dalam konteks hukum, praktik seperti ini bisa dikategorikan sebagai pungutan liar sebagaimana diatur dalam UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pungli oleh aparat negara bisa dijerat dengan pidana penjara hingga 20 tahun.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam berbagai kesempatan telah menyatakan komitmennya terhadap pelayanan publik yang bersih dan bebas pungli. Bahkan, program Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) dicanangkan sebagai pondasi reformasi birokrasi internal Polri.
Namun, fakta yang terjadi di lapangan—seperti dugaan pungli di Satpas Polres Taput—justru mencederai semangat tersebut. Jika Polri ingin tetap dipercaya publik, tindakan tegas harus segera diambil. Oknum seperti MS tidak hanya perlu diperiksa, tetapi juga diproses hukum hingga ke meja hijau.
Butuh SIM Bukan Berarti Harus Tunduk pada Pemerasan
Warga yang membutuhkan SIM bukan berarti harus rela menjadi korban sistem korup yang dilegalkan secara diam-diam. Ketika aparat penegak hukum justru menjadi pelaku pelanggaran, maka ini bukan lagi persoalan individu, melainkan krisis integritas institusional.
Sudah saatnya penegakan hukum tak pandang bulu, termasuk terhadap mereka yang memakai seragam dan menyandang atribut negara. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan terus tergerus, dan program reformasi hanya akan tinggal jargon kosong.
tim