Jejak-keiminal.com-Pekanbaru-Praktik dugaan pungutan liar di tubuh kepolisian kembali menyeruak. Kali ini sorotan publik tertuju pada Satpas Polresta Pekanbaru, tempat di mana seorang warga mengaku dipungut biaya penerbitan SIM C sebesar Rp650 ribu. Angka ini jelas mencengangkan, jauh melampaui ketentuan resmi dalam PP No. 76 Tahun 2020 tentang PNBP Polri yang menetapkan tarif SIM C hanya Rp100 ribu.
“650 ribu bang saya diminta untuk SIM C. Mau gimana lagi, saya bayar aja. Kalau banyak nanya Takutnya nanti dipersulit,” ungkap warga yang enggan disebutkan namanya, kepada awak media. Kalimat getir ini menggambarkan betapa pelayanan publik yang seharusnya mengutamakan kepastian hukum malah berubah menjadi lahan basah oknum tak bertanggung jawab.
Kasus ini bukan sekadar soal biaya, melainkan soal integritas institusi Polri. SOP pelayanan penerbitan SIM yang seharusnya transparan dan akuntabel justru kerap dilanggar secara terang-terangan. Alih-alih memberi kepastian, masyarakat justru dipaksa tunduk pada “aturan tak tertulis” yang nilainya berkali lipat dari tarif resmi.
Di tengah upaya Polri membangun kembali kepercayaan publik yang tergerus oleh berbagai kasus penyalahgunaan wewenang, munculnya informasi ini adalah tamparan keras. Bagaimana mungkin institusi penegak hukum yang menjadi garda terdepan keadilan justru diduga menggerogoti rakyat dari balik meja pelayanan?
Hingga berita ini diturunkan, Kasatlantas Polresta Pekanbaru AKP Satrio B W Wicaksana belum memberikan keterangan resmi. Publik bertanya-tanya, apakah diamnya pejabat terkait merupakan bentuk pembiaran, atau tanda bahwa praktik ini memang sudah menjadi rahasia umum?
Ironisnya, kasus pungli semacam ini seakan terus berulang tanpa pernah ada efek jera. Sementara masyarakat yang hanya ingin patuh hukum dengan mengurus SIM, justru diperas secara halus dengan dalih birokrasi.
Awak media mendesak Dirlantas Polda Riau Kombes Pol Taufig agar segera turun tangan, membuka tabir dugaan pungli ini, sekaligus menindak tegas oknum yang terbukti bermain. Publik berhak atas pelayanan yang jujur, bukan sekadar jargon “Presisi” yang hanya indah di spanduk.
Jika aparat penegak hukum masih bermain di wilayah abu-abu, ke mana lagi masyarakat harus berharap pada keadilan?
(TIM/RED)