Batubara —Sumatera Utara -Jejak-Kriminal.Com- Drama panjang soal dugaan penyerobotan dan perusakan tanah di Desa Tanjung Muda, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara, kian menemukan babak penting. Jumat, 7 November 2025 sekitar pukul 10.00 WIB, Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama penyidik Polres Batubara turun langsung ke lokasi melakukan pengukuran koordinat. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa kasus yang dilaporkan S. Nainggolan mulai ditangani serius oleh aparat penegak hukum.
Pengukuran tersebut merupakan tindak lanjut dari laporan polisi bernomor LP/B/348/X/2025/SPKT/POLRES BATUBARA/POLDA SUMUT. Dalam laporan itu, S. Nainggolan menuding adanya penyerobotan dan perusakan lahan miliknya oleh pihak yang mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT) baru, yang diterbitkan oleh Penjabat (Pj) Kepala Desa Tanjung Muda, Muhammad Nuur Saragih, SH.
Masalah muncul saat Pj Kades menerbitkan SKT baru tanpa tanda tangan salah satu sempadan, yakni S. Nainggolan sendiri. Padahal, menurut ketentuan hukum agraria, tanda tangan sempadan merupakan syarat sah yang menegaskan kesepakatan batas antar pemilik tanah. Tanpa itu, surat menjadi cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan administratif.
Ketika dikonfirmasi media pada 23 Oktober 2025, Pj Kades Muhammad Nuur Saragih berdalih telah mengikuti prosedur.
“Kadus sudah panggil sempadan tiga kali tapi dia tidak datang. Jadi surat baru saya terbitkan berdasarkan surat lama,” ujar Saragih dengan nada santai.
Namun alasan itu justru membuka tabir lemahnya tata kelola pemerintahan desa. Bagaimana mungkin surat baru diterbitkan hanya berpatokan pada surat lama yang sempadannya menolak menandatangani? Di sinilah publik menilai telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dan arogansi administratif yang kerap menjadi penyakit kronis di tingkat pemerintahan desa.
Hasil pengukuran tim BPN bersama penyidik Polres Batubara di lapangan menunjukkan adanya tumpang tindih batas lahan antara milik S. Nainggolan dengan pihak penerima SKT baru. Sejumlah saksi mata menyebutkan, alat berat sudah diturunkan ke lokasi untuk mengeruk tanah meski tanpa izin pemilik sempadan.
“Saya tidak pernah setuju, tapi mereka tetap datang bawa excavator dan mengeruk sebagian lahan saya. Itu jelas penyerobotan,” tegas S. Nainggolan kepada awak media.
Fakta di lapangan ini semakin memperkuat dugaan adanya pelanggaran hukum. Pengukuran BPN menjadi kunci pembuktian objektif karena data koordinat adalah alat bukti ilmiah yang bisa menelanjangi manipulasi dokumen pertanahan.
Ketua LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) Kabupaten Batubara, Agus Sitohang, menilai tindakan Pj Kades Tanjung Muda bukan hanya kesalahan administratif, tetapi sudah masuk kategori penyalahgunaan jabatan.
“Kalau sempadan menolak tanda tangan karena tanahnya dirusak, seharusnya kepala desa menjadi penengah, bukan malah mengeluarkan SKT baru. Ini preseden buruk dan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi desa,” tegas Agus.
Ia juga mendesak Camat Air Putih untuk tidak tinggal diam. “Camat wajib memanggil dan memeriksa Pj Kades. Kalau terbukti melanggar, harus dicopot dari jabatan,” sambungnya.
Dikonfirmasi terpisah, Camat Air Putih mengakui belum menerima laporan resmi terkait kasus tersebut, namun menilai penerbitan SKT tanpa tanda tangan sempadan adalah pelanggaran serius.
“Kalau surat diterbitkan tanpa tanda tangan salah satu sempadan, itu tidak boleh. Apalagi tanahnya bermasalah. Saya akan panggil Kepala Desanya untuk klarifikasi,” ujar Camat singkat.
Langkah Pj Kades menerbitkan SKT bermasalah ini berpotensi menabrak beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di antaranya:
Pasal 421 KUHP: Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah.
Pasal 55 KUHP: Turut serta dalam perbuatan pidana (jika terbukti melibatkan perangkat desa lain).
Pasal 385 KUHP: Penyerobotan tanah.
Jika unsur pidana terpenuhi, maka tindakan ini bukan lagi urusan administrasi desa, melainkan pelanggaran hukum yang dapat berujung pidana penjara.
Namun di tengah keseriusan penegakan hukum, muncul nada berbeda dari salah satu oknum Polsek Indrapura, Candra Simarmata.
Dalam percakapan santai dengan awak media, Candra sempat mengeluhkan rumitnya kasus tersebut:
“Gimana menurut bang Rudi, udahlah kita selesaikan aja sambil duduk ngopi. Kalau perkara ini lanjut ke pengadilan, habis semuanya. Aku udah pusing mikirkan kasus ini bang. Lagipula yang dikeruk udah diperbaiki sama Dedy, damaikan aja lah bang,” ujar Candra dengan nada pasrah.
Pernyataan itu jelas mengundang tanya. Bagaimana bisa aparat penegak hukum justru menawarkan damai di luar proses hukum untuk perkara yang sudah dilaporkan resmi dan melibatkan unsur pidana? Sikap seperti ini hanya memperlemah kepercayaan publik terhadap profesionalitas penegak hukum di daerah.
Kasus di Desa Tanjung Muda bukan sekadar sengketa tanah biasa. Ini adalah potret nyata bagaimana wewenang kepala desa bisa disalahgunakan untuk menguntungkan pihak tertentu, dengan mengorbankan hak warga yang sah.
Turunnya BPN dan Polres Batubara ke lokasi adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun keadilan tidak cukup berhenti di pengukuran koordinat harus ada tindakan hukum nyata terhadap siapa pun yang melanggar.
Kini, semua mata tertuju pada Kapolres Batubara AKBP Dolly Nainggolan dan Camat Air Putih. Publik menanti, apakah mereka berani menegakkan hukum tanpa pandang jabatan, atau justru ikut menutup mata atas praktik sewenang-wenang yang kian merusak marwah pemerintahan desa.
Keadilan tidak bisa diseduh di warung kopi. Ia harus ditegakkan di atas meja hukum (RD/TIM)
