Jejak-kriminal.com // ACEH TAMIANG – Aroma busuk pungutan liar (pungli) kembali menyeruak dari ruang pelayanan publik di tubuh Polri. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Aceh Tamiang. Biaya perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) B1 Umum yang seharusnya terjangkau, justru melambung liar hingga Rp900 ribu. Sementara itu, pembuatan SIM A dipatok sebesar Rp530 ribu.
Padahal, aturan jelas telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Polri. Di sana, tarif resmi sudah diatur sebagai berikut:
Pembuatan SIM A baru: Rp120 ribu
Perpanjangan SIM A: Rp80 ribu
Pembuatan SIM B1 baru: Rp120 ribu
Perpanjangan SIM B1: Rp80 ribu
Dengan aturan tersebut, publik bisa menilai sendiri betapa menganga lebarnya selisih tarif resmi dengan biaya yang dipatok di lapangan. Perpanjangan SIM B1 yang seharusnya hanya Rp80 ribu, melonjak menjadi Rp900 ribu—lebih dari 10 kali lipat!
Seorang warga berinisial ZN, asal Kuta Lintang, mengaku terpaksa merogoh kocek hingga Rp900 ribu hanya untuk memperpanjang SIM B1 Umum.
“Ya bang, saya perpanjang SIM B1 Umum kena Rp900 ribu. Sebenarnya saya keberatan dengan nominal segitu, tapi mau gimana lagi. Kalau nggak gini dipersulit, susah buatnya, dan lama,” ujar ZN, Selasa (16/9/2025).
Pengakuan serupa datang dari GV, warga lainnya. Ia mengatakan mengeluarkan biaya Rp530 ribu untuk pembuatan SIM A, termasuk tes psikologi.
“Pembuatan SIM A dikenakan Rp530 ribu sudah sama psikotes, langsung jadi, pembayaran di loket 1,” jelas GV.
Dua pengakuan ini mempertegas dugaan kuat adanya praktik kotor “SIM tembak”—SIM instan yang bisa didapat tanpa prosedur resmi, asalkan sang pemohon rela membayar lebih.
Jawaban Kasat Lantas: Sikap Bodoh di Tengah Sorotan Publik
Kasat Lantas Polres Aceh Tamiang, AKP Delyan Putra SH., MH., ketika dikonfirmasi wartawan terkait lonjakan biaya SIM tersebut justru memberikan jawaban yang mengecewakan.
Alih-alih memberikan klarifikasi tegas, ia justru balik bertanya:
“Di Polres lain berapa?”
Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan sikap tidak profesional, tapi juga terkesan membodohi publik dan melecehkan tugas jurnalis. Padahal, seorang perwira polisi seharusnya menjunjung tinggi sumpah jabatan untuk menegakkan hukum, bukan melindungi praktik busuk.
Kasus ini bukan sekadar persoalan biaya SIM, melainkan masalah serius tentang integritas aparat. Jika praktik pungli dibiarkan, maka Polri hanya akan semakin kehilangan kepercayaan publik.
Sudah sepatutnya Kapolda Aceh turun tangan, melakukan investigasi menyeluruh, dan membuka siapa saja yang bermain di balik “SIM tembak” tersebut. Bahkan lebih jauh, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga didesak untuk bersikap tegas.
Pungli di balik penerbitan SIM bukan cerita baru, tetapi kali ini bukti-bukti semakin telanjang. Warga mengaku diperas, biaya melambung jauh dari aturan, dan pejabat yang seharusnya memberi klarifikasi malah bersikap bodoh.
Ingat, Polri berdiri di atas sumpah dan janji untuk melayani masyarakat, bukan memperdagangkan kewenangan. Jika Kapolda dan Kapolri membiarkan, maka publik akan menilai: Polri bukan lagi pengayom, melainkan pedagang izin di jalan raya.
Tim liputan