Gawat! Oknum Polisi Polsek Indrapura Minta Sengketa Tanah Diselesaikan Kekeluargaan. Ada Apa di Balik Permintaan Candra Simarmata?

Batubara — Sumatera Utara-Jejak-Kriminal.Com-Pernyataan mengejutkan keluar dari mulut seorang anggota polisi Polsek Indrapura, Polres Batubara, bernama Candra Simarmata, pada Jumat (7/11/2025). Dalam kasus yang tengah disorot publik ini, Candra—yang disebut turut menangani perkara—justru mengajak pihak pelapor untuk “menyelesaikan secara kekeluargaan.”

Kasus ini bermula dari laporan polisi bernomor LP/B/348/X/2025/SPKT/POLRES BATUBARA/POLDA SUMUT, yang diajukan oleh S. Nainggolan. Dalam laporannya, S. Nainggolan menuding telah terjadi penyerobotan dan perusakan lahan miliknya di Desa Tanjung Muda, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara. Lahan tersebut disebut telah “diambil alih” oleh pihak yang mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT) baru, yang diterbitkan oleh Penjabat (Pj) Kepala Desa Tanjung Muda, Muhammad Nuur Saragih, SH.

Namun di tengah proses hukum yang berjalan, muncul kejutan. Candra Simarmata, yang disebut ikut mengawasi jalannya penyidikan, justru menyampaikan keinginan agar kasus ini diselesaikan tanpa melalui jalur pengadilan.

“Gimana menurut bang Rudi, udahlah kita selesaikan aja sambil duduk ngopi. Kalau perkara ini lanjut ke pengadilan, habis semuanya. Aku udah pusing mikirkan kasus ini bang. Lagipula yang dikeruk udah diperbaiki sama Dedy, damaikan aja lah bang. Kalau lahan tanah ku yang di ujung bang,”
ujar Candra kepada awak media dengan nada pasrah.

Pernyataan itu sontak menimbulkan tanda tanya besar. Apa kepentingan seorang penyidik dalam mendorong perdamaian? Mengapa seorang penegak hukum, yang seharusnya berdiri netral dan menegakkan aturan, justru terkesan ingin menghentikan proses hukum yang sedang berjalan?

Dalam konteks hukum, penyidik adalah ujung tombak penegakan keadilan. Tugasnya bukan menengahi perkara, melainkan memastikan kebenaran dan penegakan hukum berjalan tanpa intervensi. Ketika seorang aparat kemudian menawarkan “perdamaian sambil ngopi,” publik berhak curiga: apakah ini bentuk empati, atau justru upaya meredam perkara yang bisa menyeret pihak tertentu?

Apalagi, dalam sengketa tanah seperti ini, seringkali di balik “perdamaian kekeluargaan” terselip kepentingan besar—baik ekonomi, jabatan, maupun jaringan lokal yang bermain. Kata “damai” bisa menjadi baju manis untuk menutupi aroma busuk penyalahgunaan wewenang.

Jika benar ada indikasi keterlibatan oknum aparat dalam penerbitan SKT bermasalah atau dalam mengarahkan hasil penyidikan, maka Propram dan Propam Polda Sumut patut turun tangan. Sebab, publik sudah lelah melihat hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Sikap Candra Simarmata yang “pasrah” dan mengajak damai di luar jalur hukum menimbulkan dua kemungkinan:

  1. Ia benar-benar lelah menghadapi tarik-menarik kepentingan dalam kasus tersebut, atau
  2. Ia punya kepentingan pribadi atau relasi dengan pihak-pihak terlapor sehingga berusaha menghentikan proses formal.

Apapun alasannya, seorang polisi tidak boleh menjadi penentu akhir perkara berdasarkan rasa lelah atau hubungan kekeluargaan. Hukum tidak mengenal istilah “duduk ngopi untuk berdamai” bila sudah menyangkut dugaan perusakan dan penyerobotan hak atas tanah.

Kasus ini menjadi cermin dari persoalan klasik di tubuh penegakan hukum kita: ketika aparat yang seharusnya menegakkan keadilan malah mengaburkan batas antara penegakan hukum dan urusan pribadi.

Pernyataan Candra Simarmata harus diusut lebih lanjut. Apakah ia berbicara sebagai pribadi yang ingin menenangkan suasana, atau sebagai aparat yang mencoba mengendalikan arah perkara?

Publik berhak tahu dan Polres Batubara wajib menjelaskan. Karena dalam kasus seperti ini, diam berarti membiarkan keadilan dibeli dengan segelas kopi dan kata “damai.” (RD/TIM)