Janji Tinggal Janji: Penegakan Hukum di Polres Batubara Hanya Sekadar Ilusi?”

BatuBara-Jejak-Kriminal.Com-janji Kapolres Batubara untuk mendalami kasus “tangkap lepas” terhadap tiga terduga pelaku penyalahgunaan narkoba tampaknya hanya menjadi dongeng pengantar tidur bagi publik yang haus akan keadilan. Lewat pesan WhatsApp pada 13 April 2025, sang Kapolres menyatakan: “Akan saya dalami, dan apabila terbukti akan saya tindak tegas.

Terima kasih infonya.” Namun, hingga hari ini, yang terdengar hanya gema janji—tanpa wujud nyata dari tindakan hukum yang transparan dan akuntabel.

Keterbukaan yang dijanjikan justru digantikan dengan sikap saling lempar tanggung jawab. Saat dikonfirmasi, Kasat Narkoba Polres Batubara dengan enteng berkilah, “Kalau barang bukti berkasnya belum saya lihat, tapi kalau tentang uang lima juta lima ratus itu untuk rehab, bukan ke mana-mana.

Itu biaya rehab, biar ngerti juga Bapak ya.” Sebuah pernyataan yang tidak hanya menyesatkan, tapi juga mengaburkan batas antara penegakan hukum dan pungutan liar berkedok ‘biaya rehabilitasi’.

Yang lebih mengherankan, sang penyidik lapangan justru memilih untuk menghindar. “Kalau tentang itu ke Pak KBO aja Pak, saya hanya penyidik pembantu,” ujar Penyidik Sembiring saat dikonfirmasi. Sikap defensif ini mencerminkan betapa bobroknya sistem koordinasi dan akuntabilitas internal di tubuh institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan narkotika.

Pernyataan dari pihak keluarga salah satu terduga pelaku kian menguatkan dugaan adanya praktik ‘jual beli keadilan’.

Sang ayah mengaku menyerahkan uang Rp5,5 juta kepada penyidik di dalam ruangan kerja, setelah awalnya diminta Rp6 juta. Uang itu, kata penyidik, diperuntukkan biaya rehabilitasi. Tapi benarkah itu mekanisme yang sah?

Perlu ditegaskan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang memberikan ruang bagi penyalahguna narkoba untuk menjalani rehabilitasi. Namun, jalur rehabilitasi bukan transaksi gelap yang dilakukan di bawah meja.

Harus ada permintaan resmi, evaluasi medis, hingga penetapan oleh lembaga berwenang seperti Badan Narkotika Nasional (BNN). Bukan sekadar “uang masuk laci, kasus selesai”.

Penegakan hukum seperti ini hanya menambah daftar panjang preseden buruk institusi penegak hukum di daerah. Masyarakat tidak butuh janji—masyarakat butuh tindakan konkret, transparansi, dan akuntabilitas.

Jika benar rehabilitasi menjadi solusi, maka seharusnya seluruh prosedur dilakukan secara terbuka dan sah, bukan melalui pungutan misterius yang tak punya dasar hukum.

Kapolres Batubara harus ingat: kepercayaan publik adalah aset yang tak ternilai. Ketika janji tinggal janji, dan kebenaran dikaburkan oleh alibi, maka yang tersisa hanyalah lembaga yang kehilangan wibawa. Apakah ini wajah hukum di Batubara? Atau hanya refleksi dari sistem yang sudah lama runtuh tanpa kita sadari? (rd.red.pel)