Jeritan Petani Tegal Gede: Lahan Dirampas, Sertifikasi Bermuatan Pungli, Dugaan Mafia Tanah Menguat — Pemerintah Harus Bertindak!

Jejak-kriminal.com

TEGAL GEDE, GARUT – Kamis 21 Agustus 2025 – Ratusan warga Desa Tegal Gede, Kecamatan Pakenjeng , Kabupaten Garut, menggelar aksi audiensi di balai desa pada Kamis, 14 Agustus 2025. Aksi ini dilakukan untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah desa terkait pembagian lahan garapan yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan mereka.

Audiensi yang dimulai pukul 09.00 WIB berlangsung panas. Ketegangan memuncak ketika jawaban dari pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dinilai tidak memuaskan dan tidak menjawab keresahan warga secara konkret.

Lahan Garapan Jadi Sumber Konflik

Sebagian besar warga Tegal Gede menggantungkan hidup pada sektor pertanian, khususnya tanaman jagung. Mereka merasa dirugikan oleh pembagian lahan yang dianggap tidak adil. Tokoh masyarakat seperti Bah Elu, Paisal, dan Wawan mempertanyakan nasib lahan yang tersisa setelah pembagian sebelumnya sebesar 20 are per penggarap.

Menurut mereka, masih terdapat lahan garapan yang luas dan belum jelas statusnya. Masyarakat mendesak agar pembagian dilakukan secara transparan dan berpihak pada rakyat kecil.

Namun BPD menyatakan bahwa sebagian lahan diperuntukkan bagi fasilitas umum, dan menyebut perlunya “perwakilan putra daerah”. Jawaban tersebut langsung memicu kericuhan karena dinilai tidak mengakomodasi kebutuhan riil warga.

“Kami merasa diperlakukan tidak adil. Lahan ini satu-satunya sumber penghidupan kami,” kata Bah Elu di tengah audiensi.

Pungli Berkedok Sertifikasi Tanah HGU PT Condong

Persoalan lain yang mencuat adalah dugaan pungutan liar (pungli) sebesar Rp700 ribu per orang yang dipungut oleh panitia dengan dalih untuk proses sertifikasi tanah. Sertifikat yang dijanjikan disebut terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) PT Condong, namun kejelasan status hukumnya masih dipertanyakan warga.

“Kami disuruh bayar tujuh ratus ribu, katanya untuk sertifikasi HGU PT Condong. Tapi kami tidak pernah tahu jelas soal itu,” ungkap HN, salah satu petani penggarap.

Warga menganggap pungutan tersebut janggal dan terkesan sebagai upaya pemaksaan, apalagi dengan tidak adanya kejelasan legalitas dan dasar hukum yang jelas.

Dugaan Mafia Tanah dan Tekanan Terstruktur

Lebih jauh, warga mengungkap bahwa ada kesepakatan sepihak yang menyebut sebagian lahan tidak boleh digarap sebelum sertifikat diterbitkan. Anehnya, kesepakatan itu hanya ditandatangani oleh tiga orang, tanpa melibatkan mayoritas penggarap.

Warga juga mengeluhkan adanya tekanan dari Kepala Desa yang menggunakan Peraturan Desa (Perdes) dan Peraturan Presiden (PP) untuk membenarkan kebijakan yang mereka nilai tidak berpihak pada masyarakat.

“Kami merasa ditekan dengan aturan-aturan yang tidak adil. Kami ini rakyat kecil, bukan penjahat,” tegas Paisal.

Beberapa warga yang enggan disebutkan namanya bahkan menuding bahwa praktik ini merupakan bagian dari skema mafia tanah yang sistematis, dengan dugaan keterlibatan oknum aparat desa dalam upaya penguasaan lahan secara ilegal.

Desakan kepada Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum

Masyarakat Tegal Gede menuntut tindakan tegas dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Mereka meminta agar oknum-oknum yang terlibat dalam dugaan pungli dan mafia tanah segera diperiksa dan diproses secara hukum.

“Kami minta Bupati, Kapolres, dan Kejaksaan turun tangan. Tangkap dan adili semua yang terlibat. Jangan biarkan rakyat jadi korban,” tegas HN.

Landasan Hukum yang Diduga Dilanggar

Sejumlah regulasi yang diduga dilanggar dalam kasus ini antara lain:

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA): Menjamin hak petani atas tanah garapan.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Menjamin hak atas penghidupan yang layak.

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Bumi dan kekayaan alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Jika pungutan dan penyalahgunaan wewenang terbukti, bisa dijerat pasal korupsi.

Warga mempertanyakan lambannya respons pemerintah dalam menyikapi persoalan ini. Mereka menduga adanya pembiaran terhadap praktik yang merugikan masyarakat dan mengancam hak atas tanah dan penghidupan yang layak.

Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah untuk segera bertindak, tidak hanya sebagai penengah, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak rakyat kecil. Jika dibiarkan, praktik serupa bisa menjadi preseden buruk bagi pengelolaan agraria di daerah lain.

Tim