Kota Tebing Tinggi- Jejak-Krimina.Com-Ketika perumahan dirancang sebagai tempat paling aman bagi keluarga, ironi mencolok terjadi di Perumahan Citra Harapan, Kota Tebing Tinggi.
Di sana, mesin-mesin judi elektronik berdiri tegak dan beroperasi bebas di tengah lingkungan warga, seperti tak tersentuh hukum.
Praktik yang terang-terangan melanggar hukum ini seolah mendapat karpet merah dari pembiaran sistemik — dan pertanyaannya kini mengerucut: di mana Kapolres?
Investigasi yang dilakukan tim kami mengungkap praktik perjudian yang tidak lagi sembunyi-sembunyi. Warga sekitar menyebut aktivitas ini telah berlangsung bertahun-tahun.
Bukan hanya mencederai nilai sosial, kehadiran tempat judi di kawasan perumahan juga menciptakan rasa tidak aman dan menggerus kepercayaan terhadap penegak hukum.
“Kami sudah sering lapor, tapi tidak ada tindakan. Rasanya hukum ini hanya berlaku untuk rakyat kecil,” keluh seorang warga.
Sebut saja “WR” muncul sebagai tokoh sentral pengelola. Namun WR, sebagaimana disebut warga, hanyalah satu simpul dari jaringan yang lebih luas.
Pertanyaan besar: siapa yang memberi ruang aman bagi praktik ini? Dan mengapa Kapolres Tebing Tinggi — yang bersumpah di bawah panji institusi — seolah kehilangan taring?
Kapolres, sebagai pimpinan tertinggi kepolisian di tingkat kota/kabupaten, bukan sekadar jabatan struktural. Dalam sumpah jabatannya, seorang Kapolres berjanji untuk menjunjung tinggi hukum, memberikan rasa aman kepada masyarakat, dan memberantas segala bentuk tindak kriminalitas. Sumpah ini bukan basa-basi. Ia adalah janji kepada negara, masyarakat, dan Tuhan.
Namun ketika mesin-mesin judi berdenting nyaring tak jauh dari rumah-rumah warga, lalu siapa yang seharusnya berdiri paling depan untuk menutupnya?
Komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam memberantas perjudian sudah sangat jelas. Tidak ada ruang abu-abu, tidak ada toleransi.
Bahkan, sanksi berat dijanjikan bagi anggota yang terbukti membekingi. Tapi semua itu hanya akan menjadi retorika jika aparat di level bawah bermain mata atau memilih diam.
“Siapapun yang melindungi, akan kami tindak,” tegas Kapolri dalam konferensi persnya.
Pasal 303 dan 303 bis KUHP telah menyebut secara eksplisit sanksi bagi penyelenggara dan pemain judi. Tak peduli lokasi, tak peduli pelakunya. Namun, seolah ada kekebalan tak tertulis di balik mesin-mesin dingin yang menghasilkan panas uang haram itu.
Ketika hukum diam, masyarakat yang berteriak justru dianggap mengganggu. Ketika laporan warga tidak berbuah tindakan, maka legitimasi institusi dipertaruhkan. Ini bukan semata tentang judi — ini tentang kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Kini, bola panas berada di tangan Kapolres Tebing Tinggi. Mampukah ia membersihkan wilayah hukumnya dan memenuhi sumpah jabatan yang telah diucapkannya? Ataukah publik harus kembali kecewa, menyaksikan hukum dipermainkan oleh mereka yang seharusnya menjaganya?
Warga telah bicara. Bukti telah beredar. Undang-undang telah jelas. Tinggal satu pertanyaan tersisa: apakah Kapolres berani bertindak, atau memilih diam — dan menjadi bagian dari masalah?
(Tim)