Ketika Oknum Menipu dan Institusi Bungkam: Sampai Kapan Rakyat Harus Sabar?

IMG 20250406 WA0038 1

BatuBara-6 April 2025

Kasus dugaan penipuan Rp80 juta yang dialami keluarga Dewi, warga Tanjung Tiram, adalah satu dari sekian potret menyedihkan wajah penegakan hukum kita.

Bukan karena rumitnya perkara, tapi karena pelakunya adalah seseorang yang seharusnya menjaga hukum—seorang oknum polisi.

Ia bukan orang biasa. Bukan pula pertama kali. Tapi, anehnya, ia masih mendapat ruang dan panggung.

Di ruang Propam Polres Batubara, ia mengakui perbuatannya, menyusun janji indah: Rp10 juta per minggu untuk menebus kesalahannya.

Sebuah janji yang dielu-elukan di depan kamera dan disaksikan petinggi. Tapi seperti kebanyakan janji, semua tinggal narasi kosong.

Hari ini, keluarga korban hanya menerima Rp7 juta. Sementara sisanya, bersama harapan akan keadilan, menguap entah ke mana.

Maka pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah ruang Propam kini hanya ruang teater, tempat sandiwara dimainkan demi meredam kritik dan berita? Atau memang kita sedang hidup dalam sistem yang lebih peduli pada citra daripada kebenaran?

Lebih menyakitkan lagi, sang oknum ternyata bukan pendatang baru dalam pusaran masalah. Ia pernah terseret kasus serupa, dan “solusi” yang diambil adalah memindahkannya ke Polsek Lima Puluh.

Selesai begitu saja. Seolah pelanggaran adalah bagian dari rutinitas birokrasi, cukup ditangani dengan rotasi.

Ini bukan lagi soal penipuan. Ini soal pembiaran. Soal bagaimana institusi hukum gagal memberi contoh, bahkan ketika pelaku ada di lingkaran mereka sendiri.

Dan di saat seperti ini, kita patut bertanya: di mana suara Kapolres Batubara? Apakah beliau hanya bicara ketika sorotan media memaksa? Ataukah beliau memilih diam saat institusi butuh sikap paling jelas?

Penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Tidak boleh melempem hanya karena pelaku memakai seragam. Jika hukum memang ingin kembali dipercaya, maka institusi harus membersihkan dirinya—bukan menutup-nutupi.

Kepada Polres Batubara dan jajarannya, publik menanti langkah konkret. Bukan sekadar janji manis atau rotasi senyap.

Kasus Dewi bukan hanya tentang uang yang raib. Ini tentang kepercayaan yang hilang. Dan kepercayaan, sekali runtuh, tidak bisa dibayar dengan cicilan.

Sudah waktunya hukum bicara. Bukan dengan janji. Tapi dengan tindakan.

(rd.red.pel)