Ketika Penerbitan SIM A Disatpas Polresta Deli Serdang Berbandrol 800 Ribu. Mengalir ke Mana Uang Nya Pak Kapolres?

Deli Serdang –Sumatera-Utara-Jejak-Kriminal.Com- Sudah berulang kali viral di media sosial, namun tetap tak ada ujung. Kasus pungutan liar dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satpas Satlantas Polresta Deli Serdang seolah menjadi rahasia umum yang dibiarkan tanpa penindakan. Pertanyaannya sederhana tapi tajam: uang Rp800 ribu yang dipungut dari warga untuk satu SIM A itu, sebenarnya mengalir ke mana, Pak Kapolres?

Seorang pemuda berinisial P, warga Narorambe, Perumnas Putri Deli, dengan nada kecewa menceritakan pengalamannya kepada awak media. Ia mengaku harus merogoh kocek hingga Rp800.000 untuk mengurus SIM A di Satpas Deli Serdang.

“Saya hanya ingin mengurus SIM sesuai prosedur, tapi kenapa harus sampai Rp800.000? Ini sangat memberatkan,” ujarnya, Senin (9/7/2025).

Padahal, tarif resmi penerbitan SIM A telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Polri yakni hanya Rp100.000. Bahkan jika ditambah biaya tes kesehatan dan psikologi, total seharusnya tidak lebih dari Rp200.000.

Artinya, ada selisih sekitar Rp600.000 yang tidak jelas rimbanya.

Ironisnya, meski kasus serupa kerap mencuat ke publik dan bahkan menjadi sorotan di media sosial, para petinggi Polri di jajaran Sumatera Utara tampak bungkam. Kapolresta Deli Serdang, Dirlantas Polda Sumut, hingga Kapolda Sumut seolah memilih diam, seakan kasus pungli di lingkungan mereka sendiri adalah hal sepele yang tak perlu disikapi serius.

Padahal, di saat Polri gencar menggaungkan slogan “Presisi Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan”, praktik seperti ini justru menghancurkan kepercayaan publik. Masyarakat bukan lagi melihat polisi sebagai pelindung, tapi sebagai pihak yang ikut “menarik untung” dari kewajiban administratif rakyat.

Fenomena ini bukan lagi soal “uang Rp800 ribu”, tapi soal integritas dan moralitas aparat penegak hukum. Ketika rakyat kecil harus membayar enam kali lipat dari tarif resmi untuk mendapatkan hak administrasi, itu bukan sekadar pungli itu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Lebih parah lagi, jika aparat di lapangan melakukan pungutan tanpa sepengetahuan atasan, di mana fungsi pengawasan internal? Tapi bila atasan tahu dan membiarkan, maka ini sudah masuk kategori sistemik.

Kasus ini jelas tidak boleh berhenti di ruang redaksi. Awak media dan masyarakat mendesak Kapolda Sumut Irjen Pol Whisnu Hermawan untuk segera mengusut tuntas dugaan pungli penerbitan SIM A di Polresta Deli Serdang, termasuk menelusuri aliran dana dan keterlibatan oknum perwira yang menikmati setoran dari lapangan.

Polri tidak boleh terus menutup mata. Jika lembaga penegak hukum saja melanggar hukum, kepada siapa lagi rakyat akan mencari keadilan?

Karena pada akhirnya, setiap rupiah yang dipungut di luar aturan bukan hanya mencoreng seragam cokelat itu tapi juga menggadaikan nama institusi Polri di mata rakyatnya sendiri.

(TIM)