Medan -Sumatera Utara-Jejak-Kriminal Com- Di tengah sorotan publik atas dugaan pungutan liar dan pembengkakan biaya penerbitan serta perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) di berbagai Satpas Polres di Sumatera Utara, sikap aparat kepolisian justru kian menunjukkan wajah birokrasi yang tertutup dan antikritik.
Alih-alih memberikan klarifikasi yang transparan, Dirlantas Polda Sumut Kombes pol Firman Darmansyah,S.I.K justru memilih memblokir kontak WhatsApp wartawan yang mencoba mengonfirmasi perihal tarif SIM yang melambung jauh di atas ketentuan resmi.
Sikap ini menegaskan adanya ketidakprofesionalan dan arogansi institusi, terutama ketika media hanya menjalankan fungsi kontrol sosial sesuai amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Upaya beberapa wartawan untuk meminta klarifikasi langsung ke kantor Dirlantas Polda Sumut pun kandas. Sejumlah jurnalis yang datang ke lokasi diterima dengan alasan klasik dari petugas:
“Pak Dir masih ada tamu, belum bisa ditemui,” ujar seorang anggota dengan nada datar.
Namun, kejanggalan mulai terasa ketika alasan serupa terus diulang setiap kali media mencoba meminta konfirmasi.
Apakah benar Dirlantas terlalu sibuk, atau memang tak siap menjawab pertanyaan publik soal kebocoran moral dan dugaan permainan tarif di jajarannya?
Kasus di Satpas Polres Deli Serdang menjadi pemantik.
Seorang warga berinisial P, tinggal di Narorambe, Perumnas Putri Deli, mengaku kepada awak media bahwa dirinya harus membayar Rp800 ribu untuk penerbitan SIM A, padahal tarif resmi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif PNBP Polri hanyalah Rp120 ribu.
Kondisi serupa terjadi di Satpas Polres Belawan, di mana sejumlah warga mengaku dimintai biaya perpanjangan SIM C dengan tarif bervariasi mulai dari Rp250 ribu hingga Rp750 ribu.
Bahkan, video pengakuan warga tersebut sempat viral di berbagai platform media sosial, memperkuat dugaan bahwa praktik “tarif liar” bukan kasus insidental, melainkan sistematis dan mengakar.
Ironisnya, setiap dikonfirmasi dan pemberitaan tersebut telah dikirim langsung ke nomor WhatsApp Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto. Namun hingga kini, tak ada tanggapan, tak ada klarifikasi, tak ada tindakan tegas.
Publik pun mulai bertanya
Apakah diamnya Kapolda adalah bentuk pembiaran, atau memang ada kepentingan lain yang ingin dilindungi?
Ketika pucuk pimpinan di daerah justru bungkam, maka kepercayaan publik terhadap Polri sebagai institusi penegak hukum bisa runtuh dengan cepat.
Masyarakat butuh kepastian hukum dan integritas aparat, bukan alasan dan penghindaran.
Sikap Dirlantas yang memblokir wartawan hanyalah simbol kecil dari rapuhnya transparansi institusi. Dalam sistem demokrasi, wartawan adalah mitra kontrol publik, bukan musuh.
Ketika informasi dasar mengenai tarif resmi SIM saja ditutup rapat, lalu bagaimana publik bisa percaya pada keadilan prosedur di balik meja Satpas?
Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah berulang kali menegaskan semangat Presisi prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan.
Namun realita di Sumatera Utara menunjukkan ironi:
Presisi hanya sebatas jargon, bukan implementasi.
Kisruh tarif SIM di Sumut ini bukan sekadar isu lokal ini adalah cermin bobroknya sistem pelayanan publik di tubuh kepolisian daerah.
Kapolri tidak boleh tinggal diam. Diperlukan audit internal, penindakan tegas terhadap oknum, dan pembenahan total terhadap kultur birokrasi yang alergi terhadap kritik.
Publik menunggu tindakan nyata.
Sebab, di balik setiap rupiah yang dipungut di luar ketentuan resmi, ada rakyat kecil yang kehilangan kepercayaan dan di balik setiap wartawan yang diblokir, ada kebenaran yang sedang coba disembunyikan.
(TIM/RED)