Tapanuli Selatan-Sumatra utara-Jejak-Kriminal.Com-Tapanuli selatan kembali menjadi sorotan. Bukan karena prestasi, tapi lantaran skandal mencengangkan di sektor vital negara: penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite. Dalam sebuah rekaman eksklusif yang diperoleh tim media, dua pria terekam tengah melakukan pengisian massal BBM Pertalite di SPBU 14.227.333 Simirik, Jalan Raja Inal Siregar Nomor 16, Pargarutan Baru, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara—sekitar pukul 00:30 WIB, 7 Agustus 2025.
Rekaman tersebut memperlihatkan suasana SPBU yang sepi dari petugas. Namun, dua lelaki justru leluasa mengisi bahan bakar ke dalam jirigen-jirigen dalam jumlah besar. Diduga kuat, jumlah jirigen mencapai puluhan bahkan ratusan, dan seluruh BBM diangkut menggunakan mobil L-300 dengan pelat nomor BK 1816 KB, ditutupi terpal.
Lebih mencengangkan lagi, saat dikonfirmasi oleh awak media, salah satu pelaku mengatakan dengan enteng, “Petugas SPBU tidak ada, ini cuma kami yang kerja. Mereka sudah pulang. Manajer besok pagi baru ada. Kami ada izin dari Pertamina langsung, dan kami pakai barkot.”
Pernyataan yang justru memperkuat dugaan bahwa praktek ilegal ini bukan kejadian spontan, melainkan sistematis, terorganisir, dan kemungkinan besar mendapat “restu” dari pihak pengelola SPBU—bahkan, jika terbukti, ini bisa menjurus pada kejahatan korporasi.
BBM jenis Pertalite merupakan BBM subsidi yang dibiayai oleh negara menggunakan uang rakyat. Subsidi ini ditujukan khusus bagi masyarakat tidak mampu dan sektor transportasi publik, bukan untuk dikomersialkan secara ilegal oleh oknum tak bertanggung jawab yang haus keuntungan.
UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM subsidi dapat dikenai sanksi pidana. Bahkan dalam Pasal 55 UU Migas, pelaku dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda hingga Rp60 miliar.
Tak hanya pelaku lapangan, pihak SPBU yang turut serta atau membiarkan praktek ini juga bisa dijerat hukum. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014, SPBU dilarang menyalurkan BBM subsidi kepada pihak-pihak yang tidak berhak. Bila terbukti, sanksi administratif, pencabutan izin operasi, hingga tuntutan pidana dapat dijatuhkan.
Pertamina sebagai BUMN yang menyalurkan BBM subsidi wajib menanggapi serius kasus ini. Pernyataan bahwa pelaku “punya barkot dan mendapat izin dari Pertamina” harus segera diklarifikasi. Jika benar ada oknum internal Pertamina yang terlibat, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran, tapi pengkhianatan terhadap mandat negara dan rakyat.
Di sisi lain, aparat penegak hukum (APH), khususnya Polres Tapanuli Selatan, harus segera turun tangan. Bukti visual telah ada. Lokasi jelas. Mobil pengangkut terekam. Pelaku sudah memberikan pernyataan terbuka. Ini bukan kasus rumit yang memerlukan investigasi panjang—tapi butuh kemauan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
SPBU 14.227.333 layak disebut sebagai SPBU Nakal, dan jika terbukti, harus segera ditutup. Manajer SPBU dan pihak pengelola wajib dimintai pertanggungjawaban. Hukum harus bekerja bukan hanya pada pelaku kecil, tapi juga aktor intelektual di balik layar.
Negara telah rugi. Masyarakat telah dirugikan. Maka tindakan tegas dan transparan adalah satu-satunya jalan. Jika tidak, maka ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak kasus penyalahgunaan BBM subsidi yang tenggelam dalam senyap.
Saat rakyat antri BBM demi sesuap nasi, mafia justru menjarah subsidi untuk dijual ke industri atau diselundupkan. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka sia-sialah anggaran triliunan yang digelontorkan pemerintah untuk menjaga stabilitas energi rakyat kecil.
Kejadian di SPBU Simirik adalah alarm keras bagi Pertamina, APH, dan pemerintah pusat. Sudah waktunya, bukan hanya pelaku lapangan yang dibidik, tapi juga jejaring mafia BBM yang membusuk dari dalam sistem.
(rudi)