Potret Buram Penegakan Hukum. Galian C Menjamur atas Restu Kapolres Batubara

Batubara –Sumatra Utara- Jejak-Kriminal.Com- Dunia penegakan hukum kembali mempertontonkan wajah suramnya. Kasus maraknya aktivitas galian C tanpa izin di wilayah Kabupaten Batubara, khususnya di Desa Medang, Kecamatan Medang Deras, menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan serta diduga adanya permainan aparat dan pemerintah desa.

Pada 19 Januari 2025, awak media sempat melaporkan kegiatan galian C yang berada di Kecamatan Sei Balai melalui pesan whasap . Di lokasi tersebut, terlihat jelas para penambang mengoperasikan alat berat ekskavator serta puluhan dump truck yang hilir mudik mengangkut tanah uruk untuk diperjualbelikan.

Saat dikonfirmasi, Kapolres Batubara AKBP Doly Nelson Nainggolan menjawab singkat melalui WhatsApp: “Terkait info ini akan kami cek & ditindaklanjuti.”

Namun, kata-kata itu kini terbukti hanya sekadar janji tanpa realisasi. Faktanya, pada 16 Agustus 2025, galian C bukan berhenti, melainkan semakin menjamur. Ironisnya, lokasi tambang ilegal tersebut kini justru merambah Desa Medang, Kecamatan Medang Deras.

Lebih parah lagi, Kepala Desa Medang, Fatli, secara terang-terangan mengakui bahwa aktivitas galian C tersebut mendapat restu dari dirinya. Dalam keterangannya kepada awak media, ia bahkan menyebut pelaku tambang adalah kerabatnya:
“Itu keponakan kita di situ bang. Mereka sudah koordinasi ke saya,” ujar Fatli tanpa ragu.

Pernyataan ini bukan hanya mengonfirmasi adanya persekongkolan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kewenangan kepala desa diperalat untuk melindungi bisnis ilegal yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap aktivitas galian C wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tanpa izin resmi dari pemerintah provinsi maupun pusat, kegiatan tersebut dikategorikan ilegal dan dapat dikenai sanksi pidana.

Selain itu, Pasal 158 UU Minerba secara tegas menyebut: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”

Dengan dasar hukum yang jelas, seharusnya aparat penegak hukum, khususnya Polres Batubara, tidak boleh hanya berhenti pada retorika “akan ditindaklanjuti.” Kewajiban mereka adalah melakukan penyelidikan, penyegelan lokasi, hingga proses hukum kepada pelaku maupun pihak yang memberikan restu.

Fakta di lapangan justru berbanding terbalik. Galian C terus beroperasi bebas, aparat tak kunjung bergerak, bahkan kepala desa terang-terangan memberikan perlindungan. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa ada persekongkolan ekonomi-politik antara pelaku tambang, aparat, dan perangkat desa demi keuntungan pribadi, dengan mengorbankan aturan serta kerusakan lingkungan.

Jika pola seperti ini dibiarkan, maka hukum tak lebih dari formalitas, sementara masyarakat akan terus menyaksikan praktik “jual beli kewenangan” yang menggerus kepercayaan publik terhadap aparat dan pemerintah.

Negara Indonesia berdiri di atas asas hukum. Jika aparat kepolisian hanya bisa berjanji tanpa bukti, dan pemerintah desa menjual legitimasi demi kerabat dan rupiah, maka hukum tinggal slogan.

Batubara kini bukan sekadar punya masalah galian C, tetapi juga menghadapi krisis integritas aparat penegak hukum dan pejabat lokal. Persekongkolan semacam ini hanya akan menambah daftar panjang potret buram penegakan hukum di negeri ini. (rd/tim)