Rintihan Warga Kian Diperas Melalui Tarif SIM- Kapolres Bungkam, Rakyat Menjerit di Negeri Sendiri.

Sumatera Utara-Jejak-Kriminal.Com-Pelayanan publik di tubuh Kepolisian Republik Indonesia kembali tercoreng. Di tengah gencarnya Polri membangun kepercayaan publik, muncul kabar getir dari masyarakat bawah. Rintihan warga kian terdengar lantang: mereka merasa diperas oleh oknum di balik meja pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM).

Dugaan pungutan liar (pungli) mencuat dari Satpas Satlantas Polres Belawan dan Satpas Polres Deli Serdang, setelah sejumlah video pengakuan warga viral di media sosial TikTok dan diberitakan oleh berbagai media online. Dalam video yang beredar, seorang pemuda dengan polos menuturkan pengalaman pahitnya.

“Sekitar lima ratus ribu, Bang. SIM A sama Bang Ilham,” katanya lirih, seolah tak percaya uangnya melayang untuk hak administratif yang seharusnya dijamin negara.

Namun kisah itu bukan satu-satunya. Kasus serupa juga menimpa pemuda lain yang bahkan harus mengeluarkan Rp800.000 hanya untuk penerbitan SIM A. Nominal yang jelas melambung jauh di atas tarif resmi negara.

Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Polri, biaya resmi seharusnya adalah:

Pembuatan SIM A baru: Rp120.000

Perpanjangan SIM A: Rp80.000

Pembuatan SIM C baru: Rp100.000

Perpanjangan SIM C: Rp75.000

Sisanya? Tak lain dan tak bukan, adalah pungutan liar tindakan melanggar hukum, mencederai SOP, serta menghina sumpah pelayanan kepolisian kepada rakyat.

Ironisnya, meski dugaan pungli ini telah menjadi perbincangan publik dan mencuat ke permukaan, para pejabat terkait justru bungkam. Dari Kapolres Belawan AKBP Wahyudi Rahmania, Kapolres Deli Serdang Kombes pol Hendria Lesmana, hingga Kapolda Sumatera Utara, Irjen pol Whisnu bahkan Dirlantas Polda Sumut Kombes Pol Rahman Darmansyah, belum satu pun memberikan tanggapan resmi.

Dalam situasi di mana Polri tengah berjuang memulihkan citra, keheningan para pimpinan justru menambah luka kepercayaan rakyat. Sebab, diam di tengah jeritan rakyat bukanlah netralitas itu bentuk pembiaran.

Korwil Sumut LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI), Agus Sitohang, angkat bicara dengan nada tegas dan getir.

“Kalau benar ada oknum polisi menarik uang sampai lima ratus ribu untuk SIM A, itu bukan sekadar pelanggaran SOP itu pengkhianatan terhadap sumpah pelayanan,” ujarnya kepada awak media, Selasa (28/10/2025).

Menurut Agus, tindakan semacam ini mencoreng marwah Polri yang sedang berupaya memperbaiki wajah institusi.

“Polri itu berjanji di hadapan negara dan rakyat untuk melindungi, mengayomi, dan melayani dengan jujur dan adil. Tapi kalau rakyat malah dilayani dengan tarif liar, berarti ada kerusakan moral di dalam tubuh institusi itu sendiri,” tegasnya.

Lebih jauh, Agus menilai sikap diam Kapolres Belawan adalah bentuk kegagalan moral dan tanggung jawab.

“Diam bukan pilihan. Kalau Kapolres bungkam, publik akan menilai bahwa beliau membiarkan. Pembiaran terhadap pungli sama artinya dengan ikut terlibat,” katanya lantang.

Agus mendesak Propam Polda Sumut dan Saber Pungli untuk segera turun tangan melakukan penyelidikan menyeluruh.

“Kalau Polri mau bersih, bersihkan dari dalam. Jangan biarkan rakyat kecil terus jadi korban permainan tarif di balik seragam. Setiap rupiah yang dipungut tanpa dasar hukum adalah pemerasan, dan itu kejahatan,” pungkasnya.

Kasus ini bukan sekadar tentang uang. Ini tentang harga diri institusi penegak hukum. Tentang rakyat kecil yang datang membawa harapan, namun pulang dengan kekecewaan.

Saat hukum menjadi barang dagangan dan pelayanan publik dijadikan ladang keuntungan, maka di sanalah makna “pelindung rakyat” kehilangan ruhnya.

Kini, bola ada di tangan Kapolri.
Apakah Polri akan diam dan membiarkan kepercayaan publik kian tergerus, ataukah akan bertindak tegas — membersihkan nama institusi dengan keberanian dan kejujuran?

Rakyat sudah terlalu lama menunggu.
Yang mereka butuhkan bukan sekadar klarifikasi, tapi aksi nyata.
Karena di tengah hiruk-pikuk reformasi birokrasi, rintihan warga terus bergema.

(TIM)