Asahan —Sumatera -Utara-Jejak-Kriminal.Com- Di Aek Loba, aroma narkoba bukan lagi sekadar isu pinggiran. Ia telah menjelma menjadi denyut kehidupan terselubung yang beroperasi dengan tenang di bawah hidung aparat penegak hukum. Ironisnya, bukan para bandar yang paling menakutkan, melainkan dugaan kuat bahwa mereka bernaung di bawah “payung perlindungan” aparat itu sendiri.
Nama TATA kini menjadi legenda kelam di tengah masyarakat Aek Loba. Sosok yang disebut-sebut sebagai otak di balik jaringan peredaran sabu di kawasan itu. Bukan nama baru, bukan pula nama asing bagi aparat Polres Asahan. Namun anehnya, nama itu tetap bebas bergentayangan, seolah hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, bukan bagi mereka yang punya “beking kuat”.
Laporan demi laporan sudah mengalir baik lewat pesan WhatsApp, pengaduan langsung ke Mapolres, bahkan disampaikan oleh warga dan awak media. Namun hasilnya nihil. Tidak ada operasi besar, tidak ada tangkapan bandar utama. Yang ada hanya penangkapan kecil-kecilan, seperti “pengalihan isu” agar publik mengira hukum masih berjalan.
Padahal, fakta di lapangan bicara lain. Investigasi awak media menemukan aktivitas jual-beli narkoba di Aek Loba dan Aek Kuasan berjalan bebas, berpindah-pindah lokasi namun tak pernah benar-benar hilang. Saksi mata menyebut, setiap kali ada rencana razia, lokasi transaksi tiba-tiba bergeser beberapa ratus meter seolah ada “alarm dalam” yang memberi tahu lebih dulu.
“Setiap kali ada razia, mereka sudah kosong duluan. Ada yang bocorin,” ujar sumber lapangan yang meminta namanya dirahasiakan.
Pada Kamis, (10/09/2025), pemandangan di sebuah kebun sawit dekat pemakaman Tionghoa memperlihatkan bagaimana transaksi narkoba dilakukan tanpa rasa takut. Sepeda motor keluar-masuk, para pembeli datang silih berganti, bahkan ada yang menggunakan barang haram itu di tempat. Semuanya berjalan tenang. Tanpa pengawasan. Tanpa penegakan hukum.
Pertanyaan pun muncul: apakah aparat benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?
Bukan hanya publik yang geram, tapi juga para aktivis anti-narkoba yang menilai diamnya Polres Asahan sebagai bentuk kegagalan moral dan profesional. Apalagi, ketika upaya konfirmasi awak media ke Kanit Narkoba Supangat justru berakhir tragis—nomor WhatsApp wartawan diblokir setelah beberapa kali menanyakan tindak lanjut kasus ini.
Tindakan itu bukan hanya mencurigakan, tetapi juga memperlihatkan betapa tipisnya komitmen transparansi di tubuh Polres Asahan.
Sejumlah warga bahkan menyebut, praktik ini sudah berlangsung sejak masa jabatan AKBP Afdhal Junaidi SIK MM MH, dan terus berlanjut di bawah kepemimpinan AKBP Revi Nurvelani SH SIK MH. Namun pola yang sama tetap terjadi: pengedar kecil ditangkap, gembong utama tetap aman.
Jika dugaan ini benar bahwa jaringan narkoba mendapat “angin segar” dari oknum penegak hukum maka ini bukan lagi soal kelalaian, melainkan pengkhianatan terhadap sumpah Tribrata dan Catur Prasetya.
Polisi yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pelindung para bandar.
Maka wajar bila publik kini menaruh harapan besar kepada Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi. Sebab kasus ini sudah melampaui batas kewenangan Polres. Dibutuhkan langkah bersih dan tegas—entah lewat audit internal, tim saber pungli, atau operasi khusus dari Polda Sumut—untuk mengurai benang kusut di Asahan.
Karena yang dipertaruhkan bukan hanya citra Polri, tapi juga masa depan generasi muda yang setiap hari diracuni narkoba di bawah pandangan dingin aparat.
Kini masyarakat Aek Loba menunggu jawaban nyata, bukan sekadar retorika.
Apakah Kapolres Asahan berani membersihkan sarangnya sendiri, atau justru akan membiarkan jaringan narkoba tumbuh subur di tanah hukum yang kian tumpul ke atas?
Satu pertanyaan menggema dari mulut warga ke telinga kekuasaan:
“Di mana Kapolres saat Aek Loba dikuasai narkoba?”
(TIM)