Bali – Kasus sengketa objek tanah di Jalan Pemelisan Agung, Banjar Gundul, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung, bergulir bak bola panas dan kerap membuat heboh masyarakat. Sengketa ini melibatkan penggugat Lenny Yuliana Tombokan dengan tergugat BPN Bading, dengan turut tergugat Erkin Inggriani Tedjokoesoemo, Noer Wahju dan Wanti Setiodjojo.
Terbaru, Majelis Hakim PTTUN Mataram pimpinan Evita Mawulan Akyanti menyatakan, menerima permohonan banding dari tergugat pada 17 Oktober 2024. Alhasil, putusan PTUN Denpasar yang sebelumnya membatalkan sejumlah sertifikat milik para tergugat pun dianulir. Namun, perkara ini masih berlanjut dan belum berkekuatan hukum tetap, karena Lenny Tombokan mengajukan kasasi.
Menariknya, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum. turut memberikan pendapat mengenai putusan di tingkat banding ini. Menurutnya, berdasar pengetahuan dan data yang dimiliki, ia meyakini ada kekeliruan Majelis Hakim PTTUN dalam menafsir kompetensi mereka.
“Ini terlihat secara nyata mereka tidak paham atau kurang paham mengenai Peradilan TUN. Termasuk tidak cukup paham mengenai tindakan-tindakan Tata Usaha Negara (TUN),” ujarnya, Kamis (31/10). Hakim disebutnya tidak paham, karena terlihat pada konstruksi mereka yang menilai masalah ini sebagai masalah perdata.
Padahal, yang dipersoalkan oleh penggugat adalah soal tindakan administrasi. Dalam hukum administrasi negara, penerbitan sertifikat itu adalah tindakan atau keputusan TUN. Hubungan administrasi di negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Ketentuan tersebut mengatur tindakan-tindakan administrasi negara yang terikat pada sejumlah prinsip atau sejumlah asas. Diantaranya, adalah asas legalitas, lalu ada asas kecermatan (cermati, cermat prosedur, cermat fakta, cermat formulir maupun materilnya). Soal legalitas, itu berkonsekuensi pada tindakan-tindakan penerbitan sertifikat, apakah sesuai dengan hukum atau tidak.
Sementara prinsip cermat itu, berkonsekuensi pada cermat terhadap prosedur dan cermat terhadap materiil. Substansi atau objek itu berwujud pada apakah diperiksa atau tidak keadaan hukum atas objek yang akan disertifikatkan. “Pemeriksaan ini diperlukan untuk memastikan, apakah objek yang disertifikatkan itu ada fisik ada faktualnya, apakah ada masalah, hukumnya bersih atau tidak? Ada sengketa atau tidak? diikatkan dengan jaminan atau tidak? dan seterusnya,” tuturnya.
Setiap tindakan tata usaha negara mesti memenuhi prinsip-prinsip itu, dan dalam sistem hukum Negara Indonesia, yang berwenang memeriksa hanya boleh Peradilan TUN. Tidak bisa oleh peradilan lain, apapun namanya dan apapun alasannya. Mantan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara pada 2006-2007 ini memahami bahwa tampak perkara ini seolah-olah persoalan perdata, karena dilalui dengan perjanjian jual-beli dan lainnya.
Padahal dari segi substansi, dia mengatakan sama sekali tidak ada sangkut paut. Memang dalam prinsip penerbitan sertifikat, orang datang mengajukan penerbitan dengan mengatakan bahwa dia mempunyai berbagai hal sebagai syaratnya. Nah, pejabat tata usaha negara wajib datang untuk mengecek, memeriksa di buku tanah, apakah di atas tanah ada sengketa misalnya, sudah atas hak atau dikuasai oleh orang atau tidak dalam hal ini sudah dikuasai penggugat Lenny Tombokan.
Petugas perlu memeriksa batas-batasnya, dari utara, timur, barat, selatan. Guna memastikan apakah keterangan yang diberikan oleh orang yang akan mensertifikatkan tanah itu (tergugat), secara objektif benar atau tidak. “Pertanyaannya adalah apakah dalam kasus ini, sertifikat yang katanya dipecah-pecah oleh tergugat, red) itu dilakukan sesuai dengan prosedur ini atau tidak. Soal tadi, orang datang mengatakan bahwa saya dapat tanah ini berdasarkan perjanjian begini-begini kan? itu yang mesti dicek karena ini tidak ada unsur sama sekali dari soal perdata, perdata ini soal lain lagi,” paparnya.
Sekali lagi, peradilan yang boleh mengecek hanya peradilan TUN, tidak ada peradilan lain di Indonesia ini yang bisa mengecek atau menguji keabsahan tindakan TUN berupa penerbitan sertifikat itu. Karena, peradilan perdata di Indonesia sampai kiamat pun dikatakannya ini tidak bisa membatalkan sertifikat orang.
Saat ini yang dikoreksi adalah soal keabsahan sertifikat. Dari segi hukum rakyat, tampak seolah ini segi perdata, mengingat sertifikat adalah bukti kepemilikan, padahal keabsahan sertifikat yang sedang dicek, yang merupakan ranah tata usaha negara. “Di situlah letak kekeliruan konstruksi peradilan seperti tingkat banding dalam kasus ini,” ucapnya.
Kalaupun Lenny Yuliana Tombokan tidak menggunakan hak yang disediakan dalam sistem hukum kasasi, maka artinya dia menundukkan diri dan mengikatkan diri secara sukarela pada putusan Peradilan TUN tingkat Banding. Apabila Lenny menggunakan hak kasasi, maka hukumnya kembali kepada hukum awal (Putusan PTUN Denpasar).
Dengan begitu karena hukum itu mengikat semua orang, maka bukan hanya Lenny, tapi semua pihak, termasuk yang dinyatakan kalah oleh peradilan PTUN juga harus tunduk dan terikat pada sistem hukum.
Jadi keliru kalau ada yang mengatakan bahwa Lenny harus tunduk dan taat atau haris meninggalkan lokasi dan segala macam. “1000 persen pernyataan tidak ada dalih yang dapat dipakai untuk menjustifikasi klaim itu dari segi hukum,” pungkasnya.