Skandal Pemutusan Listrik di Tanjung Kuba: Ketika SOP Hanya Jadi Formalitas, Bukan Komitmen

Batu Bara –Jejak-Kriminal.com- Peristiwa pemutusan aliran listrik terhadap ruko milik Sudarsono di Desa Tanjung Kuba, Kecamatan Air Putih, pada 6 Januari 2025, menyisakan banyak tanda tanya. Di balik dalih teknis dan SOP yang kerap dikumandangkan oleh pihak PLN, justru mengemuka aroma arogansi, penyimpangan prosedur, dan minimnya etika pelayanan publik. Sorotan tajam datang dari Ketua LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) Kabupaten Batu Bara, Agus Sitohang, yang secara terbuka menyebut tindakan tim P2TL Pematang Siantar sebagai “janggal dan mencederai kepercayaan publik.”

Masalah bermula dari temuan baut longgar pada meteran listrik milik Sudarsono—yang oleh tim P2TL langsung dijadikan alasan untuk memutus sambungan dan menjatuhkan sanksi. Namun, pihak pemilik ruko membantah keras. “Kami tidak pernah menyentuh meteran itu, apalagi melonggarkan bautnya,” ujar Bambang Sutrisno, anak pemilik ruko, dengan nada kesal.

Yang lebih mengejutkan, petugas P2TL tidak menunjukkan satu pun bukti valid atas tuduhan tersebut. Tidak ada rekaman, tidak ada berita acara tertulis yang ditandatangani bersama, tidak ada saksi independen. Namun denda sebesar Rp7,3 juta langsung dibebankan. Bahkan, meteran ruko lain yang tak berkaitan juga ikut diblokir—seolah prinsip praduga tak bersalah hanya hiasan di dinding birokrasi.

Ironisnya, dalam sebuah video yang beredar, oknum petugas P2TL terlihat sedang asyik bermain judi slot di dalam mobil dinas. Perilaku ini bukan sekadar pelanggaran disiplin, tapi menjadi tamparan keras bagi institusi yang seharusnya menjadi garda depan pelayanan energi bersih dan bermartabat.

“Kalau petugas di lapangan saja tidak berintegritas, bagaimana mungkin hasil pemeriksaan mereka bisa dipercaya?” seru Agus Sitohang, dengan nada tinggi. Ia juga menyebut salah satu admin P2TL berinisial S.M sebagai pihak yang diduga menyebar tuduhan tanpa dasar alias fitnah.

Pertanyaan mendasar kini mengemuka: apakah ini sekadar kelalaian individu, atau justru cerminan dari masalah sistemik dalam tubuh PLN, khususnya di unit P2TL? Jika temuan “baut longgar” bisa serta merta dijadikan vonis, tanpa ruang klarifikasi dan tanpa mekanisme banding yang adil, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya.

Tagihan listrik tetap berjalan walau meteran sudah dicabut. Logika ini tak hanya absurd, tapi juga menampar akal sehat. PLN Indrapura dan tim P2TL Pematang Siantar harus paham: masyarakat bukan lagi massa diam. Mereka menuntut transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan yang beradab.

LSM KCBI menuntut PLN untuk membuka klarifikasi terbuka, menyelidiki dugaan pelanggaran etika oleh tim lapangan, dan mengaudit ulang prosedur pemutusan. Lebih jauh, manajemen PLN harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan P2TL, yang belakangan ini justru sering menimbulkan keresahan ketimbang rasa aman.

Tanpa perbaikan sistem dan penindakan nyata terhadap pelanggaran di lapangan, kredibilitas PLN akan semakin tergerus. Ini bukan lagi soal satu ruko, tapi soal hak publik atas pelayanan yang adil dan profesional. Saat SOP hanya menjadi jargon tanpa makna, maka kepercayaan masyarakat menjadi taruhannya.

(rd.red.pel.jk.)