Riau – Jejak-Kriminal.Com-Aroma busuk praktik mafia kembali menyeruak dari tubuh aparat penegak hukum. Kali ini, dugaan skandal “voucher fiktif” menyeret jajaran Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Riau yang disinyalir bekerja sama dengan pengusaha keturunan Tionghoa asal Medan, Sumatra Utara, dalam mengendalikan bisnis gelap berkedok program pelatihan keselamatan berkendara.
Program ini disebut sebagai “satu pembeli, satu pelatihan” dan mulai dijalankan sejak Juni 2014. Skema yang digadang-gadang sebagai bentuk edukasi lalu lintas itu justru sarat penyimpangan dan manipulasi.
Modus operandi terbilang sederhana. Setiap konsumen yang membeli kendaraan baru di dealer/ATPM se-Riau wajib menerima voucher pelatihan. Uang hasil penjualan voucher kemudian disetorkan pihak dealer ke biro jasa di Samsat Gadjah Mada Pekanbaru. Dari sana, dana yang terkumpul dibagi dua: sebagian masuk ke admin voucher ISDC (Sekolah Mengemudi RSDC), sementara separuh lainnya diduga mengalir ke jajaran Ditlantas Polda Riau.
Dana tersebut kemudian disebar melalui sejumlah rekening sesuai instruksi atasan. Catatan transaksi memperlihatkan aliran dana ratusan juta rupiah per hari. Beberapa slip setoran yang berhasil terungkap antara lain:
Rp 132.950.000 atas nama Bhara Dhytya Merdeka (HRD PT. JSDC Sukses Makmur Sentosa)
Rp 155.300.000 atas nama Hidayani (Komisaris sekaligus Kepala Admin PT. JSDC SMS)
Rp 239.100.000 atas nama PT. JSDC Sukses Makmur Sentosa
Praktik ini berjalan rutin, masif, dan nyaris tanpa pengawasan.
Berdasarkan dokumen kerja sama dengan ATPM/dealer, program ini diinisiasi oleh Tjong Chun Fuk, Direktur Utama PT. JSDC Sukses Makmur Sentosa. Namun, nama yang diduga menjadi otak sesungguhnya ialah Jimmy Udjaja, pengusaha asal Medan yang kini berdomisili di Singapura.
Jimmy disebut-sebut sebagai pemegang saham mayoritas sekaligus pengendali penuh arus dana voucher sejak awal 2014. Meski namanya jarang terdengar publik, jejak bisnisnya mengikat erat dengan Ditlantas Polda Riau.
Ironisnya, skema ini dilegalkan lewat surat resmi Ditlantas Polda Riau No. 2154/VII/2014/Ditlantas yang ditujukan kepada Branch Manager ISDC. Surat itu bahkan ditembuskan ke Kapolda Riau, Irwasda, Kabid Propam, hingga pimpinan ATPM/dealer se-Riau.
Meski dikemas sebagai program edukasi lalu lintas, hingga lebih dari satu dekade berjalan tak ada bukti nyata pelatihan tersebut pernah dilakukan. Sekolah mengemudi RSDC yang dijadikan ujung tombak pelaksanaan tidak mampu menunjukkan data klaim voucher.
Sebagai pengalihan, laporan kegiatan dibuat seolah-olah voucher digunakan untuk program ISDC Go to School. Salah satu pos pengeluaran bahkan mencatat Rp 124.350.000 untuk perjalanan dinas “zero accident go to school” yang diduga fiktif.
Skandal ini menimbulkan pertanyaan serius mengapa Ditlantas Polda Riau terlibat begitu dalam dalam proyek bisnis gelap ini?
Siapa sebenarnya yang melindungi praktik ini hingga bisa bertahan lebih dari satu dekade?
Bagaimana peran pimpinan Polda Riau selama periode berjalan?
Dan yang paling krusial: akankah Kapolri berani turun tangan membongkar skandal yang menyeret institusinya sendiri?
Program yang semula digadang-gadang sebagai langkah maju keselamatan berkendara ternyata hanya kedok untuk menguras uang konsumen. Dengan stempel resmi aparat, praktik ini berjalan mulus, rapi, dan terorganisir.
Awak media bersama sejumlah pemerhati hukum mendesak Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk segera membentuk tim khusus mengusut tuntas dugaan mafia voucher ini. Pasalnya, kasus ini bukan lagi sekadar soal uang, tetapi menyangkut wajah Polri di mata publik.
“Kalau Kapolri tidak turun tangan, masyarakat bisa menilai bahwa institusi ini melindungi praktik mafia. Skandal ini sudah terlalu lama dibiarkan,” ujar seorang pengamat hukum di Pekanbaru.
Meski sempat dikonfirmasi, hingga berita ini diterbitkan, Dirlantas Polda Riau Kombes Pol Taufig Lukman Nurhidayat, S.I.K., M.H. belum memberikan tanggapan resmi terkait duga
(TIM/RED)