“SOP atau Alibi? Inspektorat Batubara Diduga Menyalahgunakan Wewenang dengan Menyita HP Wartawan”

Batubara – Sumatera Utara – Jejak-Kriminal.Com
Insiden penyitaan HP wartawan di kantor Inspektorat Batubara pada Selasa (23/9/2025) kembali membuka luka lama soal bagaimana sebagian oknum pejabat masih memandang profesi jurnalis sebagai ancaman, bukan mitra kontrol publik. Ironisnya, tindakan yang diduga melanggar hukum itu justru dilakukan di institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan memastikan tata kelola pemerintahan berjalan bersih

Peristiwa bermula ketika tiga wartawan lokal meliput laporan seorang wakil BPD Desa Sei Raja terkait dugaan penyalahgunaan dana desa. Namun alih-alih mendapatkan keterangan resmi, mereka justru menghadapi perlakuan yang disebut arogan oleh petugas Inspektorat bernama Yayan, yang memerintahkan seluruh HP dan kamera jurnalis bahkan milik sekretaris BPD dan rekannya untuk disita dan dibawa ke ruangan terpisah.

Menurut pengakuan Rudi, salah satu wartawan yang menjadi korban, tindakan itu tak hanya melanggar etika, tetapi juga merupakan bentuk intimidasi terang-terangan terhadap kebebasan pers.

“Jika memang tak ingin diwawancarai, tinggal bilang. Bukan dengan cara menyita HP kami. Bahkan HP sekretaris BPD pun ikut dibawa. Apa sebenarnya yang ditakutkan?” kata Rudi geram.

Lebih mengejutkan lagi, saat dipertanyakan dasar penyitaan tersebut, Yayan dengan enteng menjawab bahwa hal itu “sudah menjadi SOP di Inspektorat.”
Sebuah pernyataan yang tak hanya terdengar menggelikan, tetapi berpotensi menjerumuskan institusi itu sendiri ke dalam krisis kredibilitas.

Sebagai institusi pemerintah, Inspektorat bukanlah lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan menyita barang bukti. Bahkan polisi sekalipun harus melalui prosedur hukum, dilengkapi surat perintah yang sah. Maka klaim adanya “SOP penyitaan HP wartawan” tak hanya absurd, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan, tindakan yang diatur jelas sebagai pelanggaran disiplin ASN.

Ketika Rudi meminta bertemu Kepala Inspektorat untuk meminta klarifikasi, Yayan mengaku pimpinannya “tidak ada di kantor”. Namun faktanya, menurut Rudi, ia sempat melihat Kepala Inspektorat berada di ruang tamu. Jika benar demikian, ini bukan lagi sekadar salah komunikasi tetapi indikasi upaya menutupi kesalahan internal.

Menahan alat kerja jurnalis, mencegah mereka melakukan peliputan, atau menghalangi dokumentasi adalah tindakan yang secara eksplisit masuk dalam kategori penghalangan kerja pers.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 18 ayat (1) bahkan menyebutkan:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers, dipidana paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”

Ini bukan perkara kecil. Penyitaan HP wartawan bukan hanya mengekang aktivitas jurnalistik, tetapi juga melanggar salah satu pilar demokrasi kemerdekaan pers.

Akibat tindakan tersebut, Rudi bersama dua wartawan lain resmi melaporkan insiden itu ke Polres Batubara. Kasus kini masuk dalam tahap penyelidikan. Langkah ini penting agar praktik intimidasi semacam ini tidak dianggap normal dan tidak diulangi oleh pejabat publik mana pun di Batubara.

Di sisi lain, sebagai ASN, oknum petugas dapat terjerat sanksi disiplin berdasarkan PP 94 Tahun 2021. Perilaku tak profesional, menghambat pelayanan publik, hingga mencoreng citra instansi merupakan pelanggaran serius yang tak boleh didiamkan.

Bupati Batubara Baharuddin Siagian S.H,M.si, kini didesak untuk tidak tinggal diam. Inspektorat adalah wajah akuntabilitas pemerintah. Bila wajah ini tercoreng karena ulah oknum, maka kepercayaan publik terhadap seluruh perangkat daerah ikut runtuh.

Masyarakat, terutama insan pers, menanti apakah Bupati akan membiarkan kasus ini menjadi preseden buruk atau justru bertindak cepat menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan supremasi hukum.

SOP ada untuk mempermudah pelayanan, bukan untuk membungkam publik atau pers. Jika benar Inspektorat Batubara memiliki SOP yang mewajibkan penyitaan HP wartawan, maka SOP itu harus dibuka, diuji, dan dipertanyakan legalitasnya.
Namun jika SOP itu hanyalah alibi untuk menutupi kepanikan oknum tertentu, maka ini adalah bentuk abuse of power yang tidak boleh dibiarkan.

Kasus ini bukan sekadar tentang satu wartawan atau satu petugas. Ini tentang martabat profesi pers dan integritas lembaga pemerintah. Batubara sedang diawasi dan publik menunggu siapa yang berani berdiri di sisi kebenaran.

(TEM)