Pakam, Sumatera Utara —Jejak-Kriminal.Com- Dugaan praktik pungutan liar dan pelanggaran prosedur kembali mencuat di tubuh kepolisian, kali ini di wilayah hukum Satlantas Polresta Deli Serdang. Seorang pemuda asal Batang Kuis mengaku harus membayar Rp600 ribu untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) C, tanpa menjalani pelatihan atau ujian mengemudi yang menjadi syarat utama penerbitan SIM.
“Ya tidak apa kalau hanya Rp600 ribu, yang penting dipermudah prosesnya,” ujar pemuda tersebut saat ditemui awak media pada Rabu (29/5). Di balik pernyataan ringan itu, tersembunyi potret buram pelayanan publik yang seharusnya menjunjung integritas dan profesionalisme.
Menurut penuturan sumber, uang tersebut diserahkan melalui seseorang yang disebut-sebut sebagai petugas internal Satlantas. Artinya, bukan hanya soal tarif di luar ketentuan, tetapi juga dugaan keterlibatan oknum aparat dalam praktik ilegal ini.
Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2020, tarif resmi penerbitan SIM C hanya Rp100 ribu. Ditambah biaya kesehatan dan tes psikologi, total maksimal tidak melebihi Rp250 ribu. Sementara itu, Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2012 dengan tegas mewajibkan serangkaian tahapan — mulai dari tes kesehatan, ujian teori, hingga praktik mengemudi — sebelum SIM diterbitkan.
Jika proses ini diabaikan, maka tidak hanya terjadi pelanggaran prosedur administratif, tetapi juga potensi kejahatan penyalahgunaan wewenang. Lebih dari itu, SIM yang diterbitkan tanpa uji kelayakan bisa membahayakan keselamatan pengguna jalan lain.
Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran teknis — ini adalah krisis kepercayaan publik terhadap institusi yang semestinya menjadi garda depan penegakan hukum lalu lintas. Masyarakat menunggu langkah konkret dari Direktorat Lalu Lintas Polda Sumatera Utara.
Dirlantas Polda Sumut diminta tidak tinggal diam. Penyelidikan internal harus segera dilakukan, dan jika terbukti, tindakan tegas wajib dijatuhkan terhadap oknum yang terlibat.
Pembersihan institusi harus dimulai dari komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Jangan sampai praktik seperti ini dibiarkan mengakar dan mencoreng seluruh jajaran kepolisian yang bekerja dengan jujur dan profesional.
Hingga berita ini diturunkan, Satlantas Polresta Deli Serdang belum memberikan klarifikasi resmi. Keheningan ini justru semakin menguatkan dugaan adanya praktik menyimpang yang sistematis dan terorganisir.
Media memegang peran penting sebagai penjaga transparansi. Kasus seperti ini tak boleh ditutupi atau dilupakan begitu saja. Warga yang berani bersuara harus dilindungi, dan aparat yang melanggar harus ditindak.
Jika institusi Polri ingin kembali meraih kepercayaan publik, maka setiap bentuk pelanggaran, sekecil apa pun, tidak boleh mendapat ruang. Saatnya Dirlantas Polda Sumut membuktikan: institusi bersih bukan sekadar slogan. (Tim)