Tarif SIM Melangit, Calo Menjamur: Dugaan Restu Oknum di Satpas Polrestabes Medan”

Medan -Sumatera Utara-Jejak-Kriminal Com- Lagi-lagi, aroma busuk pungli di balik layanan publik Polri tercium. Satpas Satlantas Polrestabes Medan kembali disorot publik setelah hasil investigasi awak media mengungkap praktik percaloan yang diduga berlangsung atas restu oknum perwira di dalam tubuh satuan tersebut.

Di tengah gencarnya imbauan “Jangan Gunakan Jasa Calo” yang menggema lewat toa setiap pagi di halaman Satpas, kenyataan di lapangan justru bertolak belakang. Calo SIM terlihat bebas berkeliaran, bahkan secara terbuka menawarkan “paket cepat” dengan tarif yang jauh melampaui SOP resmi penerbitan SIM.

Sesuai Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2020 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Polri, biaya resmi penerbitan SIM adalah:

SIM C: Rp 100.000

SIM A: Rp 120.000

SIM B: Rp 150.000

Namun, fakta di lapangan menunjukkan angka yang mencengangkan. Berdasarkan pengakuan seorang calo berinisial AN, harga pembuatan SIM di Satpas Polrestabes Medan jauh dari nalar:

SIM C: Rp 850.000 – Rp 950.000

SIM A: Rp 900.000

SIM B: Rp 1.800.000

“Bang mau buat SIM apa? Kalau SIM C Rp 950 ribu, SIM A Rp 900 ribu, SIM B Rp 1,8 juta. Jangan takut, aku udah lama jadi calo di sini dari tahun 2024. Prosesnya cepat, setengah jam siap. Nanti aku bawa langsung ke dalam ketemu sama polisinya,” ungkap AN kepada awak media yang menyamar sebagai pemohon SIM.

Lebih jauh, AN menyebut bahwa aktivitasnya sebagai calo bukan tanpa “pelindung”. Ia mengaku mendapat restu dari oknum Kanit Regident Polrestabes Medan, Poltak Silalahi, yang disebut mengetahui bahkan membiarkan praktik tersebut berlangsung.

Jika tudingan ini benar, maka situasi ini bukan sekadar persoalan moral, melainkan pelanggaran hukum serius yang mencoreng institusi Polri. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas menegaskan bahwa setiap aparat yang menyalahgunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi dapat dijerat pidana.

Ironi yang paling menyesakkan ialah bagaimana di satu sisi, Satpas gencar mengumandangkan larangan penggunaan jasa calo, tetapi di sisi lain, para calo justru bebas menawarkan jasa di bawah hidung aparat.

Warga yang datang dengan harapan mendapatkan pelayanan cepat dan transparan, justru dihadapkan pada pilihan pahit: antre panjang sesuai prosedur atau “beres cepat” dengan membayar lebih mahal lewat calo. Dalam situasi seperti ini, hukum tak lagi tampak sebagai pengatur keadilan, melainkan alat untuk memperkaya segelintir oknum.

Pertanyaan besar kini bergulir: Ke mana Kapolres Kombes Jean kalvijn Simanjuntak,Dirlantas Kombes pol Firman, dan Kapolda Sumut Irjen pol whisnu? Apakah semua laporan masyarakat dan bukti lapangan ini belum cukup untuk memicu evaluasi serius? Ataukah praktik “uang masuk ke laci” memang sengaja dibiarkan sebagai bagian dari sistem yang sudah mengakar?

Masyarakat berhak tahu, dan Polri berkewajiban menjawab. Jika tidak ada tindakan tegas, maka setiap slogan “Polri Presisi” akan kehilangan makna di mata publik.

Praktik percaloan di Satpas Polrestabes Medan bukan sekadar soal uang, tapi tentang rusaknya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Saat hukum bisa dinegosiasikan dengan rupiah, maka integritas hanyalah jargon, dan keadilan hanyalah dekorasi di dinding kantor.

Sampai berita ini diturunkan, Kapolres Polrestabes Medan belum memberikan keterangan remi terkait temuan ini. Publik menanti, apakah pimpinan Polri di Sumatera Utara akan menegakkan hukum atau justru membiarkan ketidakadilan terus menjadi budaya.

(TIM/RED)