Batubara —Sumatera Utara-Jejak-Kriminal.Com- 23 November 2025
Polemik sengketa tanah di Desa Tanjung Muda kembali memanas setelah muncul pernyataan dari pihak Kuasa Hukum Deddy Azhar yang menyebut laporan Sardianus Nainggolan ke Polres Batu Bara sebagai laporan palsu. Tuduhan tersebut bukan hanya memantik reaksi keras dari pihak pelapor, namun juga dianggap sebagai langkah yang terlalu dini, tidak berdasar, dan berpotensi mengaburkan substansi perkara.
Ketua LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) Batu Bara, Agus Sitohang, menjadi sosok yang paling vokal menanggapi pernyataan tersebut. Agus menegaskan bahwa tudingan “laporan palsu” sama sekali tidak memiliki dasar hukum, terlebih proses penyidikan masih berjalan dan belum ada satu pun penetapan kesimpulan resmi oleh aparat penegak hukum.
Agus Sitohang menekankan bahwa laporan Sardianus Nainggolan bukan muncul dari asumsi, melainkan dari peristiwa nyata yang terjadi di lapangan: adanya aktivitas pengerukan tanah menggunakan alat berat yang menimbulkan kerusakan pada area.
Lebih jauh, menurut Agus, terlapor justru sempat melakukan perbaikan setelah kejadian tersebut yang secara logika hukum menjadi indikasi adanya pengakuan atas perbuatan yang menimbulkan kerusakan.
“Kalau tidak ada kerusakan, apa yang diperbaiki? Ini faktanya. Jadi bagaimana mungkin disebut laporan palsu? Tuduhan itu ngawur dan menyesatkan,” tegas Agus Sitohang.
Pernyataan ini menjadi bantahan paling tajam atas upaya pihak kuasa hukum terlapor yang ingin membalikkan narasi sebelum proses hukum berjalan tuntas.
Salah satu dasar pihak kuasa hukum menyebut laporan palsu adalah hasil pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun Agus Sitohang memandang pendekatan itu sebagai argumentasi prematur Menurut nya,
- Hasil pengukuran bukan putusan hukum.
- Fakta pengrusakan terjadi sebelum pengukuran dilakukan.
- Jika ada keberatan atas hasil pengukuran, mekanismenya adalah melalui keberatan resmi atau pengukuran ulang, bukan memvonis laporan sebagai palsu.
Agus bahkan menyoroti kejanggalan teknis, Pelapor tidak menerima salinan hasil pengukuran, namun diminta menandatangani berkas yang tidak diberikan kepadanya. Hal ini membuka ruang dugaan adanya prosedur yang tidak berjalan semestinya.
Agus dan pihak pelapor pun berencana mengajukan permohonan pengukuran ulang ke BPN Sumut.
Dalam pernyataannya, kuasa hukum terlapor juga menyerang sosok Agus Sitohang secara pribadi dengan menyebutnya tendensius dan meragukan kapasitasnya. Agus merespons kritik itu dengan dingin namun tegas.
“Saya bukan pihak berperkara. Saya pendamping masyarakat. Tidak ada larangan bagi LSM untuk mengawal persoalan publik. Kalau saya disebut memvonis, justru mereka yang memvonis saya tanpa dasar,” ujar Agus.
Serangan personal itu dinilai sebagai upaya mengalihkan fokus dari pokok perkara menjadi perdebatan mengenai figur.
Kuasa hukum terlapor juga menggiring opini bahwa pelapor “tidak beritikad baik” karena tidak hadir dalam undangan mediasi. Namun Agus Sitohang membantah tegas narasi tersebut.
Bukan kewajiban, terlebih bila perkara sudah masuk ranah pidana.
Tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya laporan.
Tidak dapat menghapus fakta perbuatan yang diduga melanggar hukum.
“Yang dilaporkan adalah perbuatannya, bukan soal hadir atau tidaknya seseorang di mediasi. Prosedur pidana tidak berjalan dengan logika pertemuan informal,” ujarnya.
Agus Sitohang menegaskan bahwa penyidik Polres Batu Bara perlu tetap bekerja secara profesional, objektif, dan tidak terpengaruh oleh tekanan opini dari pihak manapun, iya memastikan bahwa
a)Fakta dugaan pengrusakan tanah terjadi.
b)Perbaikan dilakukan terlapor.
c)Laporan dibuat berdasarkan kejadian nyata.
Menurut Agus, itu sudah cukup menjadi dasar awal penyidikan.
“Biarkan proses hukum berjalan. Jangan dikaburkan dengan opini yang memutarbalikkan keadaan,” tutupnya.
Dalam banyak kasus sengketa tanah di Indonesia, narasi hukum sering kali digeser menjadi perang opini publik. Tuduhan “laporan palsu” tanpa dasar kuat adalah bentuk tekanan yang sering dipakai untuk melemahkan posisi pelapor. Padahal, penilaian palsu atau tidaknya laporan merupakan ranah aparat penegak hukum, bukan pernyataan sepihak pihak yang berperkara.
Penting bagi masyarakat, media, dan pendamping hukum untuk tetap menjaga independensi fakta dan tidak terprovokasi oleh argumentasi prematur yang belum dibuktikan secara hukum.
Karena pada akhirnya, Hukum bekerja dengan bukti, bukan dengan suara paling keras. tutup Agus Sitohang kepada awak media saat konfrensi pers
(TEM)
