Belawan,Sumatera Utara, Jejak-Kriminal.com, Aroma busuk praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan pelayanan publik kembali menyeruak, kali ini dari Satpas Satlantas Polres Belawan. Alih-alih menjadi tempat pelayanan masyarakat yang transparan dan profesional, Satpas tersebut justru diduga kuat telah menjelma menjadi “ladang bisnis” yang mengeruk uang warga tanpa rasa malu.
Pada Rabu, 22 Oktober 2025, seorang pemuda warga Belawan berinisial RZ kepada awak media menyuarakan keluhannya. Ia mengaku dipungut biaya penerbitan SIM A sebesar Rp 500 ribu, jauh dari tarif resmi yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Polri, di mana biaya resmi SIM A hanya Rp 120.000.
“SIM A 500 ribu saya diminta bang. Segitu katanya. Ya mau gak mau saya kasih aja bang,” ungkap RZ dengan nada kecewa kepada awak media.
Pernyataan RZ hanyalah secuil dari gunung es persoalan yang sudah lama mencoreng citra Polri, khususnya di wilayah hukum Polres Belawan. Di tengah gencarnya upaya reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik, justru praktik pungli di Satpas Belawan tampak leluasa berjalan bahkan terkesan mendapat “perlindungan diam-diam”.
Yang lebih mengejutkan, ketika kasus serupa sebelumnya sudah sempat ramai diberitakan dan bahkan tautan berita dikirim langsung ke nomor WhatsApp Kapolres Belawan AKBP Wahyudi Rahman, tak ada sedikit pun respon atau tindakan tegas yang transparan.
Kapolres memilih diam, seolah menutup mata terhadap dugaan pelanggaran etik dan hukum yang terjadi di bawah komandonya.
Padahal, sikap diam seorang pimpinan dalam kasus seperti ini hanya akan menegaskan bahwa “diam berarti setuju”. Warga pun menilai bahwa pembiaran yang terus berulang ini adalah bentuk kegagalan kepemimpinan dalam menegakkan disiplin dan integritas di tubuh Polri.
Modusnya sederhana, tapi sistematis. Masyarakat yang datang dengan harapan mendapat pelayanan cepat dan sesuai aturan justru dihadapkan pada “tarif tidak resmi” yang seolah sudah menjadi harga pasar.
Petugas lapangan dan calo seakan bersinergi dalam sistem yang rapi di mana warga yang ingin cepat mendapatkan SIM, dipaksa tunduk pada mekanisme tak resmi.
Tidak sedikit warga yang akhirnya menyerah. Bukan karena tidak tahu aturan, tapi karena tak berdaya di hadapan sistem yang korup. Seperti RZ, banyak yang akhirnya memilih “membayar saja”, agar urusan cepat selesai.
Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran administrasi ini adalah pengkhianatan terhadap sumpah dan seragam. Ketika penegak hukum menjadi bagian dari praktik pungli, kepercayaan publik hancur.
Uang warga bukan lagi hasil kerja keras yang dihargai, tapi menjadi “upeti” yang harus diserahkan demi pelayanan yang seharusnya gratis dari praktik kotor.
Publik kini menunggu langkah tegas dari Kapolda Sumut Irjen Pol Whisnu Hermawan, untuk segera turun tangan dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kapolres Belawan beserta jajaran Satlantas-nya.
Tidak boleh lagi ada pembiaran. Tidak boleh lagi ada diam yang berarti setuju.
Keadilan dan integritas tidak boleh hanya menjadi slogan di spanduk harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Warga Belawan sudah terlalu lama menjadi korban “bisnis SIM”, dan publik menuntut jawaban serta keberanian institusi untuk membersihkan diri dari oknum yang memperdagangkan kewenangan.
(TIM/REDPEL)