BatuBara-Kasus dugaan pelecehan terhadap anak di bawah umur di wilayah hukum Polres Batubara kembali menggugah kesadaran publik akan rapuhnya sistem penegakan hukum kita.
Laporan yang diajukan SW—ibu kandung dari korban berinisial SS (15 tahun)—sejak 16 Februari 2025, hingga kini seperti jalan di tempat. Dua kali pelapor dipanggil secara resmi oleh pihak kepolisian, namun tak pernah hadir. Dan di sinilah ironi itu muncul: proses hukum seakan lumpuh hanya karena pelapor mangkir.
Lalu, apakah absennya satu orang cukup untuk menghentikan roda penyidikan?
Pernyataan Kanit Reskrim Polres Batubara, Ipda Ade S. Masri, SH, yang mengatakan bahwa mereka tak dapat memaksa pelapor untuk hadir memang sah dalam bingkai KUHAP.
Namun dalam konteks kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak sebagai korban, penegakan hukum semestinya tidak berhenti di batas administratif.
Ada banyak jalur hukum lain yang dapat diupayakan—termasuk pemeriksaan saksi lain, visum, data lapangan, atau bahkan pendekatan aktif terhadap pelapor.
Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa. Maka penanganannya pun harus dilakukan dengan pendekatan yang luar biasa pula.
Kita tidak sedang membahas sengketa biasa, tapi menyangkut masa depan seorang anak yang kemungkinan besar sedang berjuang melawan trauma.
Ketika pelapor absen, bukan hanya proses hukum yang terganggu, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum ikut tergerus.
Apakah aparat hanya bekerja jika prosedur berjalan mulus? Apakah tidak ada inisiatif untuk proaktif ketika korban yang dilibatkan adalah anak yang mungkin belum bisa bersuara penuh?
Ketidakhadiran pelapor, meski menyulitkan, tidak bisa menjadi alasan stagnasi. Justru di sinilah komitmen kepolisian diuji: apakah mereka benar-benar berpihak pada korban, atau sekadar menjalankan rutinitas?
Langkah jemput bola seharusnya bukan opsi terakhir, tapi menjadi bagian dari SOP dalam kasus-kasus yang sensitif.
Jika pelapor tak hadir, cari tahu kenapa. Mungkin ada intimidasi. Mungkin ada ketakutan. Dan jika demikian, tanggung jawab negara adalah memastikan pelapor merasa aman dan didengar.
Penegakan hukum bukan sekadar prosedur. Ia adalah upaya menjamin keadilan tetap hidup. Dalam kasus ini, diamnya pelapor tak seharusnya mematikan nyala proses hukum.
Tapi diamnya aparat justru bisa jadi pertanda bahwa hukum kita masih terlalu mudah dikalahkan oleh absennya satu suara.
Dan jika itu terjadi, siapa lagi yang akan percaya pada keadilan?
(rd.red.pel)