Lima Bulan Tanpa Kepastian: Ketika Pelaku Berkeliaran dan Kapolsek Indrapura Terkesan Diam

IMG 20250410 WA0013

BatuBara-11 April 2025 -Sudah lima bulan berlalu sejak Eko Razmian Sihombing menjadi korban penganiayaan brutal di Desa Semodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batubara.

Dan selama lima bulan itu pula, keadilan seakan menjauh, perlahan tapi pasti dikikis oleh birokrasi dan kinerja aparat kepolisian yang patut dipertanyakan.

Pelaku dalam kasus ini bukan sosok misterius. Namanya jelas: Rames Daud Sihombing. Lokasinya pun sempat dilaporkan Simalungun, kata keluarga korban.

Namun anehnya, hingga kini, Polsek Indrapura seolah tak berdaya. Tak satu pun langkah konkret yang bisa meyakinkan publik bahwa hukum masih bekerja di negeri ini.

Hal paling ironis datang dari pengakuan korban sendiri. Bahwa pihak kepolisian justru meminta korban mencari tahu keberadaan pelaku. Apa ini sistem kerja baru penegakan hukum? Ketika korban dituntut menjadi detektif atas penderitaannya sendiri?

Pemberian SP2HP yang tidak secara berkala tidak lebih dari upaya tambal sulam citra. Seolah ada progres, padahal tidak ada pergerakan nyata.

Aparat tak lebih dari birokrat berseragam, menunggu laporan masuk, bukan menindaklanjuti dengan sigap dan tangkas.

Kemarahan ibu korban seolah mewakili suara masyarakat kecil yang selama ini hanya bisa mengelus dada. “Apa harus disorong uang jutaan rupiah baru pelaku bisa ditangkap?” katanya, getir. Pernyataan ini menyentil nurani kita semua—apakah benar hukum bisa dibeli? Apakah keadilan hanya tersedia bagi mereka yang mampu menyuap?

Pertanyaan ini menyentuh akar dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.

Ketika keadilan tak lagi menjadi hak, tapi berubah menjadi barang dagangan, maka kita sedang hidup dalam sistem yang cacat secara moral.

Lima bulan. Bukan waktu yang sebentar. Apalagi jika identitas pelaku sudah diketahui. Kegagalan demi kegagalan Polsek Indrapura menunjukkan satu hal: ada sesuatu yang tidak beres. Entah itu karena ketidakmampuan, ketidakseriusan, atau—dan ini yang lebih berbahaya sengaja dibiarkan.

Jika alasan aparat hanyalah “kami belum tahu keberadaan pelaku,” maka publik patut bertanya: lalu apa gunanya satuan reserse? Untuk apa ada anggaran operasional? Untuk siapa sebenarnya hukum ditegakkan?

Langkah Eko dan keluarganya untuk mengadukan penanganan kasus ini ke Propam Polda Sumut adalah bentuk perlawanan terakhir dari orang-orang yang nyaris putus harapan. Mereka tak ingin hanya mengeluh di media, mereka ingin bertindak. Tapi sejauh mana suara mereka akan didengar?

Kapolres Batubara harus turun tangan. Bukan sekadar merespons laporan, tapi memberi sinyal tegas bahwa setiap anggota kepolisian yang lalai harus diberi evaluasi.

Citra Polsek Indrapura sudah terlanjur tercoreng, dan hanya tindakan nyata yang bisa memulihkannya.

Ketika aparat tak mampu menjamin keadilan bagi rakyat kecil, maka yang dirusak bukan hanya satu kasus, tapi fondasi demokrasi itu sendiri.

Hukum bukan hanya soal pasal, tapi tentang rasa aman. Jika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, maka kita hidup bukan dalam negara hukum, melainkan hutan belantara yang dibalut simbol negara.

Kasus Eko Razmian Sihombing bukan hanya tentang satu pemuda yang dianiaya. Ini tentang semua orang yang pernah merasa ditinggalkan oleh sistem.

Tentang semua keluarga yang mendambakan keadilan, tapi hanya diberi janji dan harapan palsu. (rd.red pel)