Uang Rehabilitasi atau Gratifikasi Terselubung? Benarkah Kapolres Batubara Akan Mendalami?

IMG 20241220 WA0020

BatuBara-Jejak-Kriminal.Com-13 April 2025 -Dalam sistem hukum yang ideal, narkoba adalah musuh negara, dan aparat penegak hukum adalah garda terdepan dalam pemberantasannya.

Namun di Medang Deras, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, kita justru melihat potret buram bagaimana hukum bisa ditawar—dengan harga Rp5.500.000.

Tiga warga yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan narkotika dikabarkan “dilepas” oleh pihak berwajib. Tidak ada rilis resmi, tidak ada konferensi pers.

Hanya ada kabar bahwa pihak keluarga menyetor sejumlah uang kepada penyidik. Narasinya? “Untuk biaya rehabilitasi.”

Kita perlu bertanya: apakah “biaya rehabilitasi” dapat diberikan langsung ke penyidik, apalagi secara tunai di ruang kerja? Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tegas mengatur bahwa rehabilitasi bagi pengguna narkotika harus berdasarkan hasil assessment dari Badan Narkotika Nasional (BNN) atau institusi yang ditunjuk. Bukan urusan penyidik, apalagi menjadi ajang transaksi.

Dalam Pasal 127 UU Narkotika, pengguna narkotika memang dapat diarahkan untuk rehabilitasi medis dan sosial. Namun, Pasal 54 menyatakan bahwa rehabilitasi dilakukan berdasarkan putusan pengadilan atau hasil assessment, bukan berdasarkan “uang masuk laci.”

Menerima uang dari keluarga tersangka tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang dilarang menurut Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apalagi jika uang tersebut menyebabkan perubahan status hukum tersangka—dari ditahan menjadi “dilepas.”

Konfirmasi awak media terhadap Kapolres Batubara pada 13 April 2025 hanya dijawab dengan frasa yang terlalu sering kita dengar: “Akan saya dalami.” Kalimat itu terdengar seperti stempel formalitas. Tidak menjawab substansi, dan tidak menunjukkan urgensi.

Jika benar ingin “mendalami,” mengapa tidak langsung mengambil alih kasus ini secara internal dan mengeluarkan pernyataan terbuka? Mengapa tidak menjelaskan posisi institusi terhadap tindakan anak buahnya? Sikap dingin ini justru menguatkan dugaan bahwa praktik serupa bukan barang baru di lingkungan tersebut.

Pernyataan Kasat Narkoba bahwa uang tersebut adalah “biaya rehab” justru memperkeruh situasi. Ia mengaku belum melihat berkas dan barang bukti, tapi sudah yakin uang itu untuk rehabilitasi.

Itu logika yang menyesatkan. Penyidik Sembiring pun menolak bertanggung jawab, menyeret nama atasan dan menutup komunikasi. Ini pola klasik penghindaran tanggung jawab yang sering terjadi dalam institusi yang tak terbuka.

Pernyataan orang tua tersangka yang mengaku menyerahkan uang langsung ke laci penyidik adalah alarm keras. Bukan hanya dugaan pelanggaran etik, tapi indikasi kuat praktik koruptif. Transaksi semacam ini mencederai kepercayaan publik dan mencoreng integritas institusi Polri.

Apa yang terjadi di Batubara bukan sekadar insiden biasa. Ini bukan persoalan “uang kecil” atau “kesalahan prosedural.” Ini tentang bagaimana hukum dijalankan—atau justru diperjualbelikan.

Jika Kapolres benar-benar ingin “mendalami,” maka langkah pertama yang harus diambil adalah membekukan seluruh penyidik yang terlibat, membuka ruang audit internal, dan menyerahkan temuan ke Propam dan KPK.

Jika tidak, maka publik berhak menduga: uang rehabilitasi hanyalah kedok, dan Batubara telah menjadi ladang subur bagi gratifikasi terselubung.

(rd red.pel.jk)